Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Jumat, 05 Februari 2016

Maksud Isbal (Memanjangkan Pakaian)

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إزار المؤمن إلى نصف الساق لا بأس ما بينه وبين الكعبين وما أسفل من الكعبين ففي النار. 
سمع عبدالله بن عمر رضي الله عنهما أحدا خلفه يقول ارفع إزارك فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فرفع إزاره ثم قال مرة أخرى ارفع إزارك فرفعه فإذا بلغ نصف الساق قال هذا أنقى وأتقى.

Abdullah bin Umar (bin Abbas) ra mendengar seseorang di belakangnya menyuruh menaikkan sarungnya, ternyata Rasulullah saw, maka diapun menaikkannya, Rasulullah menyuruh menaikkannya sedikit lagi. Setelah sampai setengah betis, beliau saw bersabda, Nah, itu lebih bersih (secara lahir/fisik) dan lebih taqwa (secara batin).



عن أنس عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: " «الإزار إلى نصف الساق أو إلى الكعبين لا خير في أسفل من ذلك» ".
رواه أحمد، والطبراني في الأوسط، ورجال أحمد رجال الصحيح

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء " . رواه مسلم في صحيحه

Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi shollalahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ

"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).
Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam,


مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ

"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka." (HR. Bukhari).
Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

(( ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ )) قالها ثلاثا، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ((الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، 
وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ)).


"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih". Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim

Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar rodhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret 
pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."
Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.
Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda,

لَسْتَ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ خُيَلاَءَ

"Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong
Begitu pula hadis Abi Bakrah rodhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئاً فَصَلُّوْا وَادْعُوْا اللهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali
Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.
Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar rodhiyallahu 'anhu serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri
Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.
Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah, "Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR. Bukhari dan lainnya). Abdullah bin Mas'ud rodhiyallahu 'anhu juga pernah berkata, "Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka." (HR. Muslim).

Wallahu a'lam

Terjemah fatwa Syekh 'Ali Jum'ah
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel