Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hadits Jariyah
Inilah fakta bahwa Tauhid Salafi Wahabi sangat menyimpang dari Tauhid Ahlus Sunnah Waljama’ah umum nya dan bahkan menyimpang dari Manhaj Salaf khususnya, Hadits Jariyah yang sering dijadikan alat pembenaran Salafi Wahabi atas akidah sesat mereka yaitu menduga Allah bersemayam di atas ‘Arasy , atau bertempat di atas ‘Arasy , atau berada tinggi di atas langit, bahkan mereka bicara akidah ini atas nama Al-Quran dan As-Sunnah, dan atas nama Manhaj Salaf, dan atas nama Ahlus Sunnah Waljama’ah , tapi kenyataan nya mereka hanyalah mendustai Allah dan Rasul dan Sahabat dan Salafus sholih, karena faktanya pemahaman mereka bertolak-belakang dengan pemahaman Salafus Sholih khususnya, mereka hanya pandai berteori dan menggoda ummat dengan mengajak kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf , tapi fakta nya tidak sama sekali, mereka menggoda ummat mengajak bertauhid dengan Tauhid nya Salaful ummah, tapi nyata nya tidak sama sekali, berikut ini adalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang membungkam kelancangan Salafi Wahabi, bahwa akidah yang benar yaitu akidah Rasulullah dan para Sahabat, dan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah baik Salaf ataupun Khalaf adalah “Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat” dan bahwa Hadits Jariyah bukan dalil bahwa “Allah berada di atas” dan pemahaman Salafi Wahabi tentang Hadits Jariyah telah menyimpang dengan pemahaman ulama Salaful ummah.
Inilah pemahaman Imam Syafi’i tentang Hadits Jariyah :
Berkata Imam asy-Syafi’i – rahimahullah- :
ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻭﻣﺘﻨﻪ، ﻭﻫﻮ ﺇﻥ ﺻﺢ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺧﺎﻃﺒﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻗَﺪﺭِ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻭﺃﻣﺜﺎﻟﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﺘﻘﺪﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ ﺃﻧﻬﺎ ﺁﻟﻬﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ، ﻓﺄﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺇﻳﻤﺎﻧﻬﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ: ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠَّﻪ؟ ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺃﺷﺎﺭﺕ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻋﺮﻑ ﺃﻧﻬﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺆﻣﻨﺔ، ﻓﻠﻤﺎ ﻗﺎﻟﺖ: ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ، ﻋﺮﻑ ﺃﻧﻬﺎ ﺑﺮﺋﺖ ﻣﻦ ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ، ﻭﺃﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺇﻟﻪ ﻭﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺇﻟﻪ، ﺃﻭ ﺃﺷﺎﺭ، ﻭﺃﺷﺎﺭﺕ ﺇﻟﻰ ﻇﺎﻫﺮ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ.
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya ( hadits jariyah ), dan seandainya shohih
Hadits tersebut , maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia ( hamba ) dan kawan-kawan nya sebelum Islam,mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi , maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya, maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala , Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi , atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.
[Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’i pada surat al-Mulk
– ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ: ﺃَﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ -] dan
[Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan Imam Baihaqqi, pada Bab –
ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲ ﺑﺄﺻﻮﻝ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻭﺻﺤﺔ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﻓﻴﻬﺎ – ] ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻭﻣﺘﻨﻪ
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya”
Maksudnya : Pada Hadits Jariyah telah banyak terjadi perbedaan pendapat ulama Hadits , baik dalam keshohihan sanad nya atau dalam matan nya, sepantasnya Hadits ini ditinggalkan bagi orang yang ingin beraqidah dengan aqidah yang selamat, karena ketidak-jelasan status Hadits ini.
ﻭﻫﻮ ﺇﻥ ﺻﺢ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺧﺎﻃﺒﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻗَﺪﺭِ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ
“dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya” Maksudnya : Bila ternyata Hadits Jariyah itu benar Hadits Shohih , atau bagi orang yang menganggapnya sebagai Hadits Shohih, maka jangan di telan mentah-mentah, pahami dulu bagaimana maksud Nabi sesungguhnya dalam Hadits tersebut, Imam Syafi’i mengatakan bahwa maksud Nabi bertanya kepada hamba itu dengan pertanyaan “Dimana Allah ” adalah bertanya menurut kemampuan kepahaman hamba tersebut, artinya Nabi bertanya “Siapa Tuhan nya” sebagaimana didukung oleh sanad dan matan dalam riwayat yang lain, Nabi tidak bermaksud menanyakan arah atau tempat keberadaan Allah.
ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻭﺃﻣﺜﺎﻟﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﺘﻘﺪﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ ﺃﻧﻬﺎ ﺁﻟﻬﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ
“karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi”
Maksudnya : Cara Rasulullah bertanya untuk mengetahui status nya muslim atau non muslim dengan pertanyaan “Dimana Allah ” adalah menyesuaikan dan mempertimbangkan keadaan hamba tersebut yang masih awam, karena mereka sebelum datang Islam, mereka menyembah dan meyakini bahwa berhala yang bertempat di bumi adalah Tuhan mereka, maka sesuailah keadaan tersebut dengan pertanyaan Nabi “Dimana Allah”. Sementara Allah tidak seperti Tuhan-Tuhan mereka yang bertempat.
ﻓﺄﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺇﻳﻤﺎﻧﻬﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠَّﻪ؟
“maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya, maka Nabi bertanya : Dimana Allah ?”
Maksudnya : Nabi bertanya “Dimana Allah” untuk mengetahui status keimanan hamba tersebut, artinya Rasul bertanya siapa Tuhan yang ia imani, Nabi tidak bermaksud bertanya dimana tempat berhala nya berada bila hamba itu seorang penyembah berhala, dan tidak bermaksud menanyakan dimana tempat Allah berada bila hamba tersebut percaya kepada Allah, tapi hanya menanyakan apakah ia beriman kepada Allah atau bukan.
ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺃﺷﺎﺭﺕ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻋﺮﻑ ﺃﻧﻬﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺆﻣﻨﺔ
“sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam”
Maksudnya : Mempertimbangkan keadaan orang-orang dimasa itu yang masih banyak menyembah berhala, maka ketika Rasul ingin mengetahui status hamba tersebut, Rasul bertanya dengan pertanyaan “Dimana Allah ” agar muduh bagi nya menjawab bila ia penyembah berhala, maka ia menunjukkan tempat berhala yang ia sembah, dan otomatis diketahui bahwa ia bukan orang yang percaya kepada Allah.
ﻓﻠﻤﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ، ﻋﺮﻑ ﺃﻧﻬﺎ ﺑﺮﺋﺖ ﻣﻦ ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ
“maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala”
Maksudnya : Ketika hamba itu menjawab “Di atas langit ” maka Nabi mengetahui bahwa ia adalah bukan penyembah berhala, jawaban hamba ini juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa Nabi mengakui “Allah bersemayam di atas langit” karena tidak ada hubungan antara jawaban dan pertanyaan Nabi, seperti dijelaskan di atas bahwa maksud Nabi bertanya demikian adalah ingin mengetahui status hamba muslim atau non muslim, maka jawaban hamba ini dipahami sesuai dengan maksud dari pertanyaan, Nabi tidak menanyakan apakah ia berakidah “Allah ada tanpa arah dan tempat ” atau “ Allah ada di mana-mana ” atau “Allah bersemayam di atas langit” atau lain nya, bukan itu masalah nya di sini.
ﻭﺃﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺇﻟﻪ ﻭﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺇﻟﻪ
“dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”
Maksudnya : Dan dari jawaban hamba tersebut dapat diketahui bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi , ini poin penting yang harus digaris-bawahi oleh para Salafi Wahabi yang menduga “Allah bersemayam di atas ‘Arasy ”. Imam Syafi’i membungkam akidah sesat Salafi Wahabi dengan pernyataan beliau “Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi ”. Allah di langit bukan berarti Allah berada atau bersemayam di langit, dan Allah di bumi bukan berarti Allah berada di bumi atau di mana-mana, tapi Allah adalah Tuhan sekalian alam, baik di langit atau di bumi, makhluk di langit bertuhankan Allah, dan makhluk di bumi juga bertuhankan Allah, inilah akidah Imam Syafi’i bahwa “Allah ada tanpa arah dan tempat” sebagaimana akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah Salaf dan Khalaf, pernyataan Imam Syafi’i ini menepis semua pemahaman salah dari Hadits Jariyah tersebut.
ﺃﻭ ﺃﺷﺎﺭ، ﻭﺃﺷﺎﺭﺕ ﺇﻟﻰ ﻇﺎﻫﺮ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ
“atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”
Maksudnya : Bahkan Imam Syafi’i berkata kemungkinan tanya-jawab Nabi dan hamba di atas tidak pernah ada, Nabi hanya mengisyarah tidak bertanya dengan kata-kata, dan hamba juga menjawab nya dengan isyarah tanpa kata, dan kata-kata di atas hanya berasal dari perawi atau pemilik hamba yang menceritakan kejadian tersebut, maka tidak mungkin sama sekali menjadikan Hadits Jariyah ini sebagai bukti kebenaran akidah Wahabi. Fakta ini masih juga dipungkiri oleh Salafi Wahabi, semoga mereka mendapat hidayah Allah, sangat jelas sekali penyimpangan akidah Salafi Wahabi dengan akidah Imam Syafi’i , dan ulama Salaf lain nya, dan dengan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah pada umum nya, Manhaj Salaf yang didakwahkan oleh Salafi Wahabi sangat jauh menyimpang dari hakikat Manhaj Salaf para ulama Salaf, maha suci Allah dari segala sangkaan Salafi Wahabi.
Maha suci Allah dari arah dan tempat.
0 komentar:
Posting Komentar