Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa tinggal di daerah badui maka ia akan menjadi kasar perangainya. Barangsiapa menyibukkan diri dengan perburuan maka ia akan lalai dan barnagsiapa mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah,” (Shahih, HR Abu Dawud [2859]). Diriwayatkan dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jauhilah pintu-pintu penguasa, karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan’,” (Silsilah Ahaadits ash-Shahihah [1253]).
Kandungan Bab:
- Senantiasa mendatangi pintu penguasa adalah perbuatan tercela karena dapat menimbulkan fintah. Ibnu Jauzi berkata dalam kitabTalbisul Iblis (121-122), “Di antara perangkap yang dipasang syaitan untuk para ahli fiqih adalah seringnya mereka bergaul dengan para penguasa dan suka berbasa-basi bersama mereka serta tidak mengingkari kemungkarang yang mereka lakukan, padahal mereka sanggup untuk melakukannya. Bisa jadi para ulama fiqih tersebut memberi dispensasi kepada mereka yang seharusnya tidak layak diberikan, untuk mendapat imbalan dunia. Sehingga terjadilah berbagai kerusakan dari tiga sisi: Pertama: Si penguasa akan berkata, “Jikalau tindakanku salah tentu para ulama telah mengingkari perbuatanku itu dan mana mungkin aku tidak dikatakan benar sedang para ulama itu makan dari hartaku.” Kedua: Orang-orang awam akan berkata, “Tidak ada masalah dengan penguasa ini, juga tidak ada masalah dengan harta dan semua tindakannya. Sebab ulama fulan selalu berada di sampingnya.” Ketiga: Si ulama telah merusak agamanya dengan tindakan seperti itu. Iblis telah memperdaya para ulama untuk menemui para penguasa dengan alasan meminta bantuan agar si penguasa dapat menolong seorang muslim. Tipu daya Iblis baru terungkap apabila ada orang lain yang datang menemui penguasa untuk alasan tersebut, maka akan muncul rasa tidak suka dan terkadang ia mengutus seseorang untuk menjelek-jelekkan orang tadi, sehingga hanya ia saja yang memiliki peluang untuk itu. Kesimpulannya, mendekati penguasa adalah perbuatan yang sangat berbahaya, sebab niat baik hanya ada di awalnya saja dan setelah itu akan berubah memuliakan, memberi hadiah kepada penguasa demi mendapatkan sebuah imbalan serta suka berbasa-basi dengan mereka pada gilirannya tidak dapat meningkari kemungkarang yang mereka lakukan. Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak takut para penguasa menghinakanku, yang aku takutkan jika mereka memuliakanku sehingga hatiku pun condong kepada mereka.”
- Generasi pertama dahulu telah mengetahui bahayanya fitnah ini dapat merasuk dan dapat membuat hati seorang hamba menjadi bengkok. Akibatnya ia tidak mengetahui mana yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran. Oleh karena itu, mereka melarang mendekati para raja dan penguasa. Hafidz Ibnu Rajab berkata dalam Syarh Hadiits maa Dzaaibaan jaai’aan (hal. 53), “Generasi salaf terdahulu telah melarang bergabung dengan para raja bagi yang ingin beramarmakruf dan melarang mereka dari perbuatan mungkar.” Di antara yang melarang hal itu adalah Umar bin Abdul Aziz, Ibnul Mubarak, ats-Tsauri dan lain-lain. Ibnul Mubarak berkata, “Menurut kami tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar bagi mereka yang bergabung dengan penguasa. Yang dikatakan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa jika mereka tidak bergabung dengan penguasa. Pasalnya, ada kekhawatiran munculnya fitnah jika mereka bergabung dengan para penguasa. Karena nafsu membayangkan ketika jauh dari penguasa akan beramar makruf dan melarang kemungkaran serta mengkritik mereka. Namun jika nafsu itu menyaksikan langsung dari dekat maka timbullah kecondongan dan kecintaan kepada mereka. Terlebih lagi apabila penguasa tersebut memuliakannya, tentunya ia akan menerima apasaja yang diberikan penguasa tersebut.” Di antara surat yang dikirim oleh Sufyan ats-Tsauri kepada Abbad bin Abbad yang mencantumkan wasiat terkenal yang mengandung adab, kebijakan, permisalan dan peringatan yang baik, ia berkata, “Hati-hati, janganlah kalian dekat dan bergabung dengan para penguasa dalam perkara apapun. Hati-hati, jangan sampai kalian terperdaya dengan ucapan: kamu masuk untuk menolong masyarakat, atau untuk mencegak perbuatan zhalim, atau mengembalikan hak orang yang terzhalimi. Sesungguhnya itu semua adalah jalur Iblis yang ditempuh oleh para qari’ yang fajir dan menjadikan hal itu sebagai alasan.”
- Satu hal yang perlu diketahui bahwa itu semua berkaitan dengan penguasa yang jahat dan zhalim. Ibnu Abdul Barr berkata dalam kitabnya Jaami’ul Bayaanil Ilmi wa Fadhlihi (I/185-186) pada akhir bab yang menyebutkan tentang celaan salaf mendekati para pemimpin dan penguasa, “Seluruh bab ini berkaitan dengan penguasa jahat dan fasiq. Adapun terhadap penguasa yang adil bijak, maka mendekati, mengunjungi, dan membantu mereka dalam memperbaiki masyarakat adalah termasuk amalan baik dan utama. Tidakkah anda perhatikan bahwa Umar bin Abdul Aziz didampingi para ulama terkemuka seperti Urwah bin az-Zubair, Ibnu Syihab dan ulama lain yang selevel dengan mereka.” Ibnu Syihab pernah masuk mengunjungi dan memperingatkan penguasa setelah Umar bin Abdul Aziz, yang pada saat itu dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan. Di antara yang sering mengunjungi penguasa pada saat itu adalah asy-Sya’bi, Qabishah bin Dzuaib, Raja’ bin Haiwah, Abu Miqdam yang merupakan para ulama ternama, al-Hasan, Abuz Zinad, Malik bin Anas, al-Auza’i, asy-Syafi’i dan ulama terkenal lainnya yang terlalu panjang jika disebutkan satu persatu. Apabila seorang alim mengunjungi penguasa untuk suatu keperluan secara rutin, lalu ia mengucapkan yang baik dan berkata tentang ilmu maka itu merupakan perbuatan yang baik dan mendapat keridhaan dari Allah pada hari kiamat kelak. Namun pada umumnya majelis seperti ini adalah majelis fitnah dan yang paling selamat adalah menghindarinya. Benarlah orang yang mengatakan, “Sesungguhnya para raja merupakan bala dari apasaja yang mereka halalkan, maka janganlah kalian selalu berteduh di bawah bayang mereka. Apa yang engkau perhatikan jika mereka marah, mereka akan membuat makar terhadapmu dan jika mereka ridha terhadap mereka, mereka pun akan suka kepadamu. Jika engkau memuji mereka maka mereka akan biarkan kamu membohongi mereka, dan menganggapmu berat seperti mengangkat beban yang berat. Merasa cukuplah dengan pemberian Allah daripada mendatangi pintu mereka, sebab berdiri di pintu-pintu mereka berarti sebuah kehinaan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atauEnsiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/539-542
0 komentar:
Posting Komentar