Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Jumat, 29 Juli 2016

Kisah Ulama Dan Umara

Imam Malik (179 H) diminta Khalifah Harun Ar Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar Hadits kepadanya. Tidak hanya menolak datang, ulama yang bergelar Imam Dar Al Hijrah itu malah meminta agar Khalifah yang datang ke rumahnya untuk belajar, ”Wahai Amiul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”
Akhirnya, mau tidak mau, Harun Ar Rasyidlah yang datang kepada Imam Malik untuk belajar. Demikianlah sikap Imam Malik ketika berhadapan dengan penguasa yang adil, semisal Ar Rasyid. Ia diperlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya, dari kalangan rakyat jelata. Selain itu, para ulama menilai, kedekatan dengan penguasa bisa menimbulkan banyak fitnah. Kisah ini termaktub dalam Adab As Syari’iyah (2/52).
Tidak hanya Imam Malik yang memperlakukan Ar Rasyid demikian. Para ulama lainnya pun memiliki sikap yang sama. Suatu saat, Ar Rasyid pernah meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama Hadits agar mengajar Hadits di istananya.

Tidak ada yang merespon undangan itu, kecuali dua ulama, yakni Abdullah bin Idris (92 H) dan Isa bin Yunus (86 H). Mereka bersedia mengajarkan Hadits, tapi dengan syarat: belajarnya harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana. Akhirnya, kedua putra Ar Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Di sana, mereka berdua mendapatkan seratus Hadits. Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah Isa bin Yunus. Sebagai ucapan terima kasih, Al Makmun memberikan 10 ribu dirham. Tapi, Isa bin Yunus menolak. ”Hadits Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam (SAW), tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum.”
Sedangkan Abu Hazim (140 H), ulama di masa tabi’in, menyatakan bahwa di masa sebelum dirinya, jika umara mengundang ulama, ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerima. Jika mereka memohonnya, mereka tidak menuruti. Akhirnya, para penguasa yang mendatangi ulama di rumah-rumah mereka untuk bertanya. (Riwayat Abu Nu’aim).
Kedekatan ulama dengan penguasa dianggap sebagai aib oleh para ulama saat itu. Bahkan Abu Hazim mengatakan, ”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”
Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat musibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).
Para ulama bersikap demikian, karena keakraban dengan penguasa bisa menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan. Pasalnya, ketika mereka mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka hal itu bisa menimbulkan perasaan ujub, atau kehilangan wibawa di hadapan penguasa. Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar ma’ruf nahi munkar, jika para penguasa melakukan kesalahan.
Inilah yang sejak awal sudah diperingatkan oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ”Barang siapa tinggal di padang pasir, ia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah.” (Riwayat Ahmad).
Menolak Pemberian Penguasa
Suatu saat, Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi (245 H), ulama Hadits semasa Imam Bukhari menerima seorang utusan dari Amir Thahir bin Abdullah Al Khuza’i, penguasa waktu itu. Utusan itu menemui Muhammad bin Rafi’ yang sedang makan roti dengan menyodorkan uang 5 ribu dirham.
Utusan itu menjelaskan, Amir Thahir mengirimkan uang ini untuk belanja keluarga Muhammad. ”Ambil, ambillah harta itu untukmu. Saya tidak membutuhkan. Saya telah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan terus hidup?” jawab Muhammad.

Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun, setelah utusan itu pergi, putra Muhammad muncul dari dalam rumah, ”Wahai Ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!” serunya, sebagaimana dikisahkan Ad Dzahabi dalam Thabaqat Al Huffadz (2/510).
Ada pula sebuah kisah menarik lainnya, tentang Imam Al Auza’i (157 H). Setelah memberi nasihat kepada Khalifah Al Manshur, beliau meminta izin kepada Khalifah untuk pergi meninggalkannya demi menjenguk anaknya di negeri lain. Al Manshur merasa bahwa Al Auza’i telah berjasa kepadanya, karena nasihat-nasihat yang telah disampaikan kepadanya. Akhirnya, ia ingin memberi ”bekal perjalanan” untuk ulama ini. Namun, apa yang terjadi?
Sebagaimana disebutkan dalam Al Mashabih Al Mudzi` (2/133,134), Imam Al Auza’i menolak. ”Saya tidak membutuhkan itu semua. Saya tidak sedang menjual nasihat, walau untuk seluruh dunia dan seisinya,” ucap beliau tegas.
Ada beberapa ulama lain, yang juga tegas menolak pemberian para penguasa. Adalah Kamal Al Anbari (513 H), dalam Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra (7/155), disebutkan bahwa beliau ulama nahwu yang memiliki harta pas-pasan. Hidupnya hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Namun, keadaan itu tidak mempengaruhi sikap beliau. Suatu saat Khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi, Al Anbari menolak. Sehingga utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu.”
Al Anbari menjawab, ”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki.”
Perkataan Al Anbari menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) telah mengatur rezeki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima dan memberikan hadiah itu kepada anaknya.
Tidak hanya menjauhi penguasa atau menolak hadiah dari mereka. Orang atau bahkan ulama yang dekat dengan penguasa akan dijauhi oleh ulama lain. Ini tercermin dari sikap Al Karkhi. Beliau menjauhi sahabatnya dekatnya, setelah dia mendadak kaya, karena dekat dengan penguasa.

Sahabatnya itu bernama Abu Al Qasim At Tanukhi. Diketahui, setelah ia menjabat hakim negara, tiba-tiba kehidupannya berubah. ”Sekarang tiap hari yang dimakan berdinar-dinar, dan saya belum mengetahui kalau ia mendapat warisan atau sukses dalam berdagang. Tidak tahu dari mana asalnya harta itu,” ucap Al Karkhi. Mulai saat itu, beliau tidak pernah satu majelis dengan At Tanukhi, sebagaimana dicatat Al Kautsari dalam Al Maqalat (386).
Menolak Makanan Penguasa
Adalah Syaikh Jamaluddin Al Hashiri (636 H), ulama madzhab Hanafi di Mesir. Di saat Ramadhan, beliau mengunjungi istana untuk menemui Sultan Malik Adil. Datang ke istana bukan karena undangan, akan tetapi beliau ingin mengetahui alasan Malik Adil melarang Syaikhul Islam Izzuddin bin Abdissalam untuk berfatwa. Padahal, beliau adalah orang yang pantas untuk berfatwa, menurut pandangan para ulama.

Disebutkan dalam Thabaqat As Syafi’iyah (8/237) bahwa saat adzan Maghrib berkumandang, pelayan istana membawa minuman, Sultan meminumnya dan menawarkan juga kepada Al Hashiri. “Saya datang ke sini bukan untuk menikmati makan dan minum dari Anda,” jawabnya. Al Hashiri tidak menyentuh cawan itu. 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel