Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Minggu, 13 Maret 2016

ULAMA YANG TIDAK MENIKAH

Nikah Sunnah Nabi, Kok Banyak Ulama Membujang ?
Berbicara tentang masalah pernikahan berarti kita sedang membicarakan sebuah tema yang selalu hangat untuk dibahas. Sebuah tema yang selalu menjadi topik utama pembicaraan para remaja. Hal tersebut tidaklah salah, bahkan sah-sah saja karena para remaja memang sedang memasuki usia matang untuk menikah. Tidak ketinggalan, Rasulullah SAW pun ikut menghangatkan tema ini dengan sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)
“Wahai para pemuda…! Siapa saja diantara kalian yang telah mampu maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu adalah penekan nafsu syahwat. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah Adalah Sunnah Nabi
Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua pakar hadits terkemuka Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas ibn Malik tentang tiga orang sahabat Nabi SAW yang datang menemui para istri Nabi SAW dan menanyakan tentang ibadah beliau.
Ketika mereka diberitahukan perihal ibadah Nabi SAW seakan-akan mereka masih menganggap kecil ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan selama ini. Mengapa? Karena Nabi SAW saja yang sudah mendapat jaminan ampunan dari Allah SWT baik dosa yang terdahulu maupun dosa yang belum dilakukan, masih terus beribadah dengan sungguh-sungguh. Sedang mereka yang belum mendapat jaminan ampunan, maka logikanya mereka seharusnya beribadah dengan lebih keras dan sungguh-sungguh lagi.
Lantas kira-kira apa yang ada dibenak mereka? laki-laki pertama mengatakan: “Saya akan shalat sepanjang malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua lantas menimpali: “Adapun saya, saya akan puasa terus menerus”. Kemudian yang ketiga berujar: “Adapun saya, saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah”.
Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: “Kalian berbicara begini dan begini padahal aku adalah yang seorang yang paling takut kepada Allah SWT dan paling bertaqwa kepadanya, akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku puasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), dan aku juga menikahi wanita, siapa saja yang tidak suka terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku (umatku)”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah, Kenikmatan Yang Bernilai Ibadah
Islam tidaklah seperti agama yang dianut oleh para hewan berwujud manusia yang selalu menuhankan syahwat dan hawa nafsunya. Islam juga bukan agama yang mengajarkan kemunafikan dengan berbalut suci baju kerahiban. Suci dalam kepura-puraan dan hewan dalam wujud dan perbuatan.
Inilah islam, agama sempurna yang semua ajarannya bersumber dari wahyu tuhan semesta alam. Menikah …! Ya itulah solusinya. Kenikmatan yang bernilai ibadah. Solusi syar’i untuk menyalurkan syahwat insani.
Islam sangat memperhatikan fitrah suci manusia. Tidak mengajarkan pemeluknya untuk mengumbar syahwatnya, tidak pula memerintahkan membuang jauh syahwat yang memang sudah menjadi fitrah manusia. Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu agar segera menikah.
Pernikahan…! Di dalamnya ada ketenangan. Di dalamnya ada kebahagiaan. Ada suami, imam gagah dengan mahkota qawwamah. Ada istri, sosok yang menebarkan sakinah dalam rumah tangga. Juga ada anak-anak yang menjadi penyejuk mata.
Lantas, Kenapa Banyak Ulama Tidak Menikah…???
Satu hal yang perlu saya pertegas disini bahwa yang dimaksud banyak bukanlah mayoritas. Banyak dalam bahasa arab bisa dikatakan sebagai jama’. Jama’ artinya lebih dari dua. Jama’ artinya dimulai dari tiga dan juga masuk di dalamnya bilangan-bilangan setelahnya.
Perlu kita ketahui bahwa tidak menikah adalah pilihan yang sangat berat. Konsekuensi dari pilihan itu adalah tiadanya sosok istri yang memberikan ketenangan jiwa dan pelayanan baginya. Tiadanya anak-anak penyejuk mata yang berarti juga menjadikan putus nasabnya. Juga ada nafsu syahwat yang harus dikekangnya agar tidak menjadikan dirinya bermaksiat kepada tuhannya.
Tidak Ada Hadits Shahih Tentang Keutamaan Membujang
Memang ada hadits-hadits yang bertebaran dikalangan masyarakat tentang keutamaan membujang. Tapi inilah perkataan seorang pakar hadits yang keilmuannya telah diakui umat islam. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitab al-Manar al-Munif fii ash-Shahih Wa adh-Dha’if :
أحاديث مدح العزوبة كلها باطل
“Hadits-hadits yang memuji untuk membujang semuanya bathil”.
Antara Menuntut Ilmu Dan Menikah
Tidak ada yang meragukan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW. Di sisi yang lain menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau banyak memuji para penuntut ilmu. Salah satu hadits tersebut adalah sabda beliau SAW:
{فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر} (رواه أبو داود والترمذي).
“Keutamaan seorang yang berilmu di banding ahli ibadah (yang tidak berilmu) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang, sungguh para ulama adalah ahli waris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya maka hendaklah mengambil bagian yang banyak”. (HR.Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Itulah kemuliaan ilmu. Warisan para nabi wang diwariskan kepada para ulama. Tiada yang menyamai tingkatan kenabian, akan tetapi ilmu lah yang berada di bawah tingkat kenabian tersebut.
Para ulama bagaikan matahari yang dengan sinar ilmunya mereka menerangi gelap kebodohan dunia. Mereka bagaikan bintang yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nabi SAW mengatakan kepada Ali ibn Abi Thalib jika dia menjadi sebab seorang saja mendapat petunjuk maka hal itu lebih baik baginya dibanding unta merah. Dalam riwayat yang lain dikatakan lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.
Sebuah Hadits Nabi SAW Sebagai Bahan Renungan
Imam al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak juga Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id sebuah hadits dari sahabat al-Aswad ibn Khalaf dari Nabi SAW. Ketika beliau merengkuh Hasan kemudian beliau menciumnya. Ketika para sahabat menemuinya, beliau bersabda:
{إن الولد مخبلة مجهلة مجبنة} (رواه البزار)
“Sesungguhnya anak adalah (penyebab) kekikiran, kebodohan dan kepengecutan”. (HR.al-Bazzar)
Az-Zamakhsari dalam kitab al-Fa’iq mengatakan bahwa: “Maksudnya adalah anak menjadikan bapaknya kikir karena dia menahan hartanya untuk diberikan pada anaknya, menjadi sibuk dengan anaknya dari menuntut ilmu, menjadi pengecut karena takut dibunuh dan menelantarkan anaknya”.
Kisah Salah Seorang Ulama
Abu Bakar an-Naisaburi berkata kepada Yusuf al-Qawwas: “Kamu tahu seorang yang shalat selama empat puluh tahun dan tidak pernah tidur malam? Setiap hari cuma memakakan lima butir (kurma)? Shalat shubuh dengan wudhu shalat isya’? orang tersebut adalah saya sebelum mengenal Ummu Abdirrahman. Apa yang saya katakan kepada seorang yang menikahkanku?” Kemudian dia berkata: “Saya tidak menginginkan kecuali kebaikan”.
Wahai Para Penuntut Ilmu…!
Sebuah nasehat berharga dari Umar ibn Khathab yang wajib kita renungkan adalah perkataan beliau:
تفقّهوا قبلَ أَن تسودوا
“Menjadilah faqih (dengan menuntut ilmu) sebelum menjadi pemimpin”.
Sebuah nasehat yang sangat luar biasa yang menunjukkan pentingnya menuntut ilmu. Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Umar ibn Khathab tersebut dengan anjuran menununtut ilmu sebelum menikah. Loh kok bisa? Bisa. Karena pada hakekatnya seorang suami juga harus menjadi pemimpin rumah tangganya yang otomatis dia akan sibuk dan perhatiannya terhadap ilmu pun akan berkurang.
Perkataan-Perkataan Para Ulama Yang Perlu Kita Ketahui
Disini saya akan mencoba untuk menukil perkataan-perkataan para ulama yang cukup menarik untuk kita ketahui. Imam al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’: “Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.
Bahkan Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata: “Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.
Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah seorang ulama:
ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ النساءِ
“Ilmu itu telah disembelih diantara paha para wanita”.
Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.
Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu. Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita sekarang.
Para Ulama Mengharamkan Yang Dihalalkan Allah?
Mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT merupakan dosa yang sangat besar. Bahkan hal tersebut sudah menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah SWT. Lantas benarkah para ulama berani mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah SWT? Bahkan Allah SWT berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ})المائدة: 87(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.al-Maidah : 87)
Benarkah para ulama tersebut sudah jatuh ke dalam larangan ayat di atas? Tunggu dulu! Jangan sekali-kali kita menyimpulkan sesuatu semau kita sendiri!
Imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham menjelaskan terkait ayat di atas. Ada beberapa hal menurut beliau yang perlu kita ketahui terkait pengharaman yang halal. Dan gambaran dari hal tersebut ada rinciannya.

Yang pertama: Pengharaman hakiki. Dan pengharaman jenis inilah yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam masalah al-Bahirah dan as-Sa’ibah yang telah Allah SWT terangkan dalam al-Qur’an.
Yang kedua: Hanya sebatas meninggalkan dan tidak ada tujuan untuk mengharamkan. Hal tersebut juga terjadi pada Rasulullah SAW yang meninggalkan memakan adh-Dhabb (kadal padang pasir/ biawak). Beliau bersabda:
{إنه لم يكنْ بأرضِ قومي، فأجدُنِي أعافُهُ} (رواه الجماعة إلا الترمذي)
“Sesengguhnya dia tidak ada di negri kaumku, sehingga aku mendapati diriku tidak menyukainya”. (HR.Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)
Tidak Menikah Adalah Pilihan?
Tidak menikah adalah pilihan sebagian ulama berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan mashlahatnya. Tidak menikah bukanlah madzhab sebagian ulama yang kemudian mereka mengajak orang-orang untuk mengikuti mereka. Hal tersebut tidak akan pernah kita temukan dalam kitab-kitab para ulama. Bahkan tidak ada seorang ulama pun yang mengharamkan pernikahan dan mengajak orang lain untuk tidak menikah.
Pilihan untuk tidak menikah merupakan pengorbanan sebagian ulama demi memfokuskan diri mereka terhadap ilmu agama yang memang sangat dibutuhkan oleh umat islam. Hal tersebut berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan maslahatnya juga keadaan diri mereka, lingkungan mereka dan kondisi umat islam secara keseluruhan serta kebutuhan mereka terhadap ilmu agama.

Siapa Saja Ulama Yang Tidak Menikah?
Dalam hal ini banyak ulama yang mengorbankan diri mereka untuk tidak menikah demi berkhidmah pada umat islam dalam hal menuntut dan mengajarkan ilmu agama. Hanya saja pada tulisan ini saya hanya akan menyebutkan beberapa nama di antara mereka yang memang namanya sudah sangat masyhur di kalangan umat islam. Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Apakah Mereka Tidak Berhasrat Kepada Wanita?
Ketika mendengar pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang yang sangat luar biasa. Seorang yang oleh para ulama dianggap sebagai khulafaurrasyidin yang kelima. Ya, dialah Umar ibn Abdul Aziz.
Lantas apa hubungan pertanyaan di atas dengan kisah Umar ibn Abdul Aziz? Saya akan mencoba untuk menjawabnya. Ketika Umar ibn Abdul Aziz diamanahi untuk menjadi seorang khalifah maka beliau menganggap hal tersebut sebagai amanah dan tanggung jawab yang sangat berat, sampai-sampai beliau mengatakan kepada istrinya bahwa sudah tidak ada waktu lagi buat istrinya. Beliau merasa waktu beliau sudah habis untuk mengurus urusan kaum muslimin yang sudah diamanahkan kepada dirinya.
Akan tetapi istri beliau Fathimah binti Abdul Malik adalah wanita sholehah yang lebih memilih untuk bersabar dan terus mendampingi suaminya Umar ibn Abdul Aziz. Dan pengakuan istrinya ketika Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah sampai dia meninggal”.
Ilmu Adalah Warisan Para Nabi
Lantas adakah sesuatu yang lebih besar dibandingkan ilmu yang merupakan warisan para nabi? Maka urusan wanita bagi para ulama dibandingkan dengan ilmu merupakan hal yang kecil.
Kebutuhan umat terhadap ilmu agama sangat besar. Maka sangatlah wajar jika ulama (ahli waris nabi) merasa mendapatkan amanah yang begitu besar untuk berkhidmah bagi umat islam. Begitu besarnya amanah dan tanggung jawab yang mereka emban menjadikan urusan wanita menjadi sangat kecil. Bahkan
Itulah pengorbanan para penuntut ilmu. Maka pantaslah jika Allah SWT meninggikan derajat mereka. Allah SWT berfirman:
{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}(الحجرات : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.al-Mujadilah : 11)
Wallahu A’lam Bish showab.

= By : Ali Shodiqin =

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel