Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Selasa, 08 Maret 2016

Ijmak Masa Sahabat

Menurut DR. Wahbah al-Zuhaili, sebelum menjadi salah satu sumber hukum Islam Ijmā’ terlebih dahulu melalui beberapa fase, yaitu masa sahabat, masa tabiin, masa imam-imam mujtahid, dan masa fukaha mazhab.

1.    Ijmā’ Pada Masa Sahabat
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. bermunculan permasalahan baru yang membutuhkan kejelasan hukum. Langkah yang dilakukan para sahabat adalah dengan melakukan ijtihad kolektif sebagai langkah kehati-hatian. Maka setiap muncul permasalahan baru, Abu Bakar dan khalifah setelahnya, Umar bin Khattab, segera mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk memusyawarahkan dan mempelajari sikap apa yang harus diambil dalam menghadapi permasalahan itu. Seperti pemilihan khalifah, memerangi orang murtad, dan pembagian tanah taklukan yang ada di Iraq, Mesir, dan Syam. Apabila tercapai kesepakan, hukum langsung dijalankan dan harus diikuti seluruh kaum muslimin. Apabila kesepakatan belum tercapai, maka diskusi dilanjutkan hingga semua sampai pada keputusan bersama yang dianggap sebagai Ijmā’, dari sini terdapat banyak Ijmā’ sahabat.

2.    Ijmā’ Pada Masa Tabiin
Pada masa ini pemikiran tentang Ijmā’ mulai berkurang disebabkan berpencarnya fukaha[2] ke beberapa wilayah dan beragamnya pendapat, sementara tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengumpulkan fukaha untuk mencapai suatu kesepakatan, sehingga Ijmā’ menjadi sedikit atau bahkan tidak ada.

3.    Ijmā’ pada Masa Imam-imam Mujtahid
Pada masa ini yang mengemuka adalah pentingnya mengikuti Ijmā’ terdahulu pada masa sahabat. Masing-masing imam mazhab berusaha untuk mengikuti Ijmā’ sebelumnya agar tidak dianggap membangkang atau kontroversial. Dalam hal ini mereka sangat dipengaruhi oleh wilayah masing-masing, misalnya Imam Malik mengikuti Ijmā’ penduduk Madinah, Sementara Imam Abu Hanifah merasa cukup dengan kesepakatan ulama Kufah.

4.    Ijmā’ pada Masa Fukaha Mazhab
Pada masa ini muncul pemikiran keharusan mengikuti mazhab fikih tertentu di kalangan fukaha, masing-masing pihak membela mazhab imamnya dengan klaim Ijmā’ yang kemudian menjadi banyak. Walau demikian, semuanya masih sama-sama memandang pentingnya menerima dan mengamalkan Ijmā’ sahabat  agar tidak dianggap shadh (ganjil). Saat itu pula Ijmā’ menjadi satu ketetapan di benak umat Islam sebagai hujah yang qaṭ’i (pasti). Maka mulai sejak itu, para fukaha di setiap negeri menentang keras terhadap orang-orang yang melanggar Ijmā’. Sikap ini muncul dari anggapan bersihnya perjalanan hidup para sahabat, ditambah dengan riwayat yang mengatakan, “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan” dan riwayat, “Apa yang dianggap baik kaum muslimin adalah baik di sisi Allah”, serta hadits yang diriwayatkan al-Syafi’i dari Umar ra., “Ingatlah, barang siapa menginginkan kesenangan hidup di tengah syurga, hendaklah mengikuti jama’ah. Karena syetan bersama orang yang sendirian, dan menjauh dari dua orang” .
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel