Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Senin, 04 Januari 2016

Panggilan Abi Dan Umi adakah ZIHAR?

HARAMNYA PANGGILAN ABI DAN UMI?
Setelah sempat menghebohkan khalayak muslim Tanah Air
dengan “fatwa” tidak sampainya bacaan Al-Qur’an untuk
mayyit, Berita Islam Trans TV kini meluncurkan kembali
“fatwa” tentang haramnya panggilan Abi dan Umi bagi
suami istri. Bagi mereka yang tidak memahami bahasa
Arab, munculnya fatwa itu mungkin tidak akan
menimbulkan masalah. Masalah akan muncul ketika fatwa
ditarik terlalu jauh hingga diharamkannya panggilan
“bapak” oleh istri dan “ibu” oleh suami.
Secara sederhana, menurut pembawa acara tayangan
berita Islam itu, alasan pengharaman panggilan “abi” dan
“umi” oleh suami istri adalah karena serupa dengan bentuk
dzihar. Untuk selanjutnya, disimpulkan bahwa dzihar
merupakan perbuatan yang haram dilakukan oleh suami
istri dan mengharuskan terjadinya perceraian antara suami.
Sehingga dengan menggunakan nalar yang sangat praktis,
dapat disimpulkan bahwa panggilan “abi” dan “umi” oleh
suami istri mengharuskan terjadinya perceraian antara
suami dan istri (?) Jika memang benar, seperti itu yang
diyakini oleh tim kreatif dan pemandu acara Berita Islami
Trans TV, maka begitu mudahnya perceraian itu terjadi
menurut ajaran Islam. Bukankah sejatinya---seperti tertulis
di dalam Al-Qur’an Surat al-Thalaq--Allah mempersulit
terjadinya perceraian bagi umat Islam?
Memahami Makna Dzihar
Berpijak kepada analogi yang digunakan bahwa panggilan
“abi” dan “umi” adalah sama dengan dzihar ( ﻇِﻬَﺎﺭ ), perlu
lebih dahulu dipahami apa makna dzihar itu. Syaikh
Wahbah al-Zuhaili di dalam “al-fiqhu al-Islami wa
Adillatuhu”, menulis bahwa makna dzihar menurut
pengertian syara’ adalah:
ﺍﻥ ﻳﺸﺒﻪ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺑﺎﻣﺮﺃﺓ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺄﺑﻴﺪ ﺍﻭ ﺑﺠﺰﺀ ﻣﻨﻬﺎ
ﻳﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﺒﻄﻦ ﻭﺍﻟﻔﺨﺬ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻧﺖ ﻋﻠﻲ
ﻇﻬﺮ ﺍﻣﻲ ﺍﻭ ﺍﺧﺘﻲ ﺍﻭ ﺑﺤﺬﻑ ﻛﻠﻤﺔ ‏(ﻋﻠﻲ (
dzihar adalah perbuatan seorang laki-laki mempersamakan
istrinya dengan perempuan mahramnya (ibu, saudara
perempuan, bibi dan lain-lain) untuk selama-lamanya, atau
dengan menyebut sebagian anggota tubuh istrinya,
sehingga ia menganggap haram untuk melihatnya, seperti
bagian punggung, perut, atau paha. Tindakan itu dilakukan
dengan mengucapkan kalimat, ” engkau bagiku seperti
punggung ibuku, adikku atau dengan menghilangkan kata
”alayya“ (bagiku) tersebut. (Syaikh Wahbah Al-Zuhaili,
7/558)
Di dalam penjelasan lain, Syaikh Wahbah menjelaskan
bahwa pada hakikat Dzihar serupa dengan ila’ (yaitu
sumpah seorang suami untuk tidak mempergauli lagi
istrinya). Beliau juga menjelaskan aspek historis
penggunaan ila dan dzihar, sebagai berikut:
ﺍﻻﻳﻼﺀ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﺤﻠﻒ ﻭﻫﻮ ﻳﻤﻴﻦ ﻭﻛﺎﻥ ﻫﻮ ﻭﺍﻟﻈﻬﺎﺭ ﻃﻼﻗﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ
ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻪ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺑﻘﺼﺪ ﺍﻻﺿﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﺰﻭﺟﺔ
Ila menurut bahasa (maknanya) adalah sumpah. Pada
masa jahiliyyah, ila dan dzihar itu merupakan bentuk
perceraian. Dahulu bangsa Arab menggunakan ila dan
dzihar untuk tujuan merusak ikatan pernikahan. (Syaikh
Wahbah Al-Zuhaili 7/511)
Dari penjelasan tentang makna Dzihar di atas tidak jumpai
adanya keterkaitan unsur antara panggilan Abi dan Umi,
dengan dzihar yang dimaksud. Di dalam kajian ushul fikih,
rukun untuk menganalogikan suatu hukum adalah dengan
melihat adanya pertautan illat (sebab hukum) di antara
kedua masalah. Seperti telah dijelaskan, illat dari dzihar
adalah keinginan untuk mengakhiri hubungan perkawinan.
Adapun tentang panggilan “abi” dan “umi” bagi pasangan
suami-istri tidak dijelaskan illat yang mengharamkannya.
Oleh sebab itu, dapatkah dikatakan bahwa ada pertalian
“illat” di antara dzihar dan panggilan abi dan umi tadi?
Mungkin hanya tim kreatif yang tahu.
Panggilan adalah Kebiasaan yang Diakui
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam merupakan
agama rahmatan lil ‘alamin. Dikatakan sebagai rahmatan lil
‘alamin karena setiap kebaikan yang dilakukan oleh
manusia dan bermanfaat bagi kehidupan manusia diberi
stempel legitimasi oleh ajaran Islam. Terkait dengan
adanya pengakuan syariah terhadap kebiasaan itu adalah
panggilan.
Bagi masyarakat Arab, panggilan “bapak” oleh seorang istri
dan “ibu” oleh suami dianggap tabu karena masyarakat
Arab sangat menjunjung tinggi ikatan nasab. Itu tentu
berbeda dengan masyarakat Indonesia dan Asia pada
umumnya, yang menganggap panggilan “bapak” dan “ibu”
di antara suami-istri sebagai bentuk penghormatan
terhadap kedudukan masing-masing di dalam hubungan
rumah tangga.
Bagi masyarakat Arab, sebutan Abu fulan atau ummu fulan
yang dinisbatkan kepada anak, menunjukkan
penghormatan akan eksistensi seseorang di dalam
masyarakat. Jika dikatakan bahwa panggilan Abu dan
ummu merupakan identitas Islam, mengapa Rasulullah
ﷺ menyebut Abdullah bin Ubay bin Salul,
tokoh kaum munafik Madinah dengan sebutan ‘Abu Hubab”?
ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺍﻱ ﺳﻌﺪ ﺍﻟﻢ ﺗﺴﻤﻊ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻮ
ﺣﺒﺎﺏ؟ ﻳﺮﻳﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﺑﻲ ﻗﺎﻝ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ
Lalu Rasululullah ﷺ hai Sa’ad, tidakkah
kamu dengar apa yang dikatakan oleh Abu Hubab?
Maksudnya adalah Abdullah bin Ubay, ia berkata begini dan
begitu (HR al-Bukhari, hadits nomor 6207)
Di Indonesia, panggilan “bapaknya si fulan” atau “ibunya si
fulan” mungkin hanya terkenal di beberapa daerah.
Panggilan itu untuk menunjukkan kedekatan yang
bersangkutan dengan masyarakat. Atau bisa jadi, karena
yang bersangkutan tidak dikenal nama aslinya oleh
masyarakat.
Bahwa popularitas panggilan abi dan umi di masyarakat
Indonesia, tidak lain karena makin akrabnya masyarakat
kita dengan istilah-istilah Arab yang ditengarai bersifat
Islami. Ada semacam keinginan untuk mempertahankan
identitas sosial, namun juga sekaligus dapat merasakan
secara mendalam ajaran Islam. Maka dari itu, panggilan
“abi” dan “umi” biasanya didengar di tengah-tengah
keluarga yang menerapkan ajaran Islam secara formal,
meskipun ada juga kalangan awam yang ikut-ikutan
memakai panggilan itu.
Sebagai penutup, alangkah tidak tepatnya jika
pengharaman terhadap sesuatu dasarnya adalah kebiasaan
yang berlaku di satu tempat dan dianggap universal bagi
tempat yang lain. Islam adalah ajaran yang bersifat
universal. Universalitas ajaran Islam itu dilihat dari nilai-nilai
yang disampaikan.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel