Ibadah qurban itu selain mempunyai nilai sosial, tapi sisi ritualnya juga tidak bisa dilupakan dan dianggap remeh-temeh, karenanya berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama dalam rangka memberikan penjelasan tentang sisi ritualnya. Karena menyembelih hewan qurban adalah ibadah, dan setiap ibadah ada tuntunannya, karena ibadah tidak cukup hanya sebatas niat yang ikhlas, tapi ia juga harus dikerjakan dengan benar sesuai dengan tuntunannya.
Perhatikan hadits berikut ini yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» ، قَالَ: «نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا»
Yahya bin Yahya berbicara kepada kami, Abu Khaitsamah mengabarkan keapada kami, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Ali, berkata: “Rasulullah saw menyuruhku untuk mengurus hewan qurbannya, dan menyuruhku agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, juga jilalnya. Dan menyuruhku agar aku tidak memberi upah tukang jagal dengan sesuatu dari hewan qurban tersebut” Beliau bersabda: “Kami memberi upah tukang jagal dari (uang) kami sendiri”. (HR. Muslim).
Dalam menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi dalam kitabnya Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal. 65 menuliskan:
وأن لا يعطى الجزار منها لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا
Tukang jagal tidak boleh diberi upah dari hewan qurban, karena upah tersebut artinya sebagai ganti dari pekerjaannya, maka yang demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban.
Karenaya, beliau melanjutkan, khususnya dalam madzhab kami (As-Syafii):
وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ جِلْدِ الْهَدْيِ وَلَا الأضحية ولا شيء من أجزائهما لأنها لاينتفع بِهَا فِي الْبَيْتِ وَلَا بِغَيْرِهِ سَوَاءٌ كَانَا تَطَوُّعًا أَوْ وَاجِبَتَيْنِ لَكِنْ إِنْ كَانَا تَطَوُّعًا فَلَهُ الِانْتِفَاعُ بِالْجِلْدِ وَغَيْرِهِ بِاللُّبْسِ وَغَيْرِهِ وَلَا يَجُوزُ إِعْطَاءُ الْجَزَّارِ مِنْهَا شَيْئًا بِسَبَبِ جِزَارَتِهِ هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ وَالنَّخَعِيُّ وَمَالِكٌ وأحمد واسحق
Tidak boleh menjual kulit hewan, dan tidak boleh menjual bagian apapun darinya, baik qurban tersebut wajib atau qurban sunnah, namun khusus untuk qurban yang sifatnya sunnah, maka boleh memanfaatkan kulitnya untuk untuk dijadikan paikaian, dll, dan tidak boleh memberi upah tukang jagal darinya atas nama upah, inilah adzhab kami (As-Syafii) dan ini jugalah pendapat Atho’, An-Nakho’i, Malik, Ahmad, dan Ishaq.
Walaupun, lanjut Imam An-Nawawi, Imam Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa boleh hukumnya memberi kulit kepada tukang jagal (atas nama upah), akan tetapi yang demikian dinilai berbeda dengan penjelasan hadits diatas.
Dalam kitab beliau yang lainnya, Imam An-Nawawi juga menuliskan (Al-Majmu’: 8/419-420),
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى أَنَّهُ لَا يجوز بيع شئ مِنْ الْهَدْيِ وَالْأُضْحِيَّةِ نَذْرًا كَانَ أَوْ تَطَوُّعًا سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ اللَّحْمُ وَالشَّحْمُ وَالْجِلْدُ وَالْقَرْنُ وَالصُّوفُ وَغَيْرُهُ وَلَا يَجُوزُ جَعْلُ الْجِلْدِ وَغَيْرِهِ أُجْرَةً لِلْجَزَّارِ بَلْ يَتَصَدَّقُ بِهِ الْمُضَحِّي وَالْمُهْدِي أَوْ يَتَّخِذُ مِنْهُ مَا يَنْتَفِعُ بِعَيْنِهِ كَسِقَاءٍ أَوْ دَلْوٍ أَوْ خُفٍّ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Nash-nash dari Imam As-Syafii juga dari ulama-ulama Syafiiyah telah sepakat bahwa tidak boleh menjual bagian apapun dari hewan qurban, baik qurban (yang hukumnya wajib) karena nadzar, atau qurban sunnah, baik menjual gadingnya, lemaknya, kulitnya, tanduknya, bulunya, dan lainnya. Dan tidak boleh menjadikan kulit ataupun yang lainnya sebagai upah tukang jagal, akan tetapi (semuanya) disedekahkan oleh dia yang berqurban, atau (bagian hewan tersebut) dimanfaatkan sebagai wadah air, ember, sepatu, atau lainnya, yang sifatnya tidak menghilangkan wujud asli bagian hewan qurban tersebut.
Masih dari ulama Syafiiyah, Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir (15/120) menuliskan:
فَقَسَّمَ الْجُلُودَ كَمَا قَسَّمَ اللَّحْمَ، فَدَلَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْحُكْمِ.
(dari hadits tersebut jelaslah) bahwa Ali bin Abi Thalib membagikan kulit sebagaimana beliau membagikan daging, maka yang demikian berarti hukum kulit itu sama dengan hukum daging.
Untuk itu, lanjut Imam Al-Mawardi:
وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُ لَحْمِهِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُ جِلْدِهِ
Karena tidak obleh menjual dagingnya maka tidak boleh pula menjual kulitnya.
Dalam mazhab Maliki, Imam Malik sendiri memberikan penjeasan singkatnya dalam kitabnya Al-Mudawwanah (1/548):
لَا يَشْتَرِي بِهِ شَيْئًا وَلَا يَبِيعُهُ وَلَكِنْ يَتَصَدَّقُ بِهِ أَوْ يَنْتَفِعُ بِهِ.
Tidak boleh membeli suatu barang dengannya, tidak juga menjual hewan qurban tersebut, akan tetapi semuanya disedekahkan atau dimanfaatkan (untuk sebuah kepentingan)
Imam Al-Qarafi dari madzhab Maliki menegaskan, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya Az-Dzakhirah (4/154):
وَالْقُرُبَاتُ لَا تَقْبَلُ الْمُعَاوَضَةَ وَإِنَّمَا اللَّهُ تَعَالَى أَذِنَ فِي الِانْتِفَاعِ بِهَا
Apa yang dipersembahkan untuk ibadah maka tidak boleh ada timbal balik (semacam upah/jual beli), namun Allah swt hanya mengizinkan untuk dimanfaatkan (saja)
Dalam madzhab Hanbali, Imam Ahmad berkomentar, seperti yang tulis oleh Imam Ibnu Qudamah (Al-Mughni: 9/450-451):
وَلَا يُعْطَى الْجَازِرُ بِأُجْرَتِهِ شَيْئًا مِنْهَا. وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَرَخَّصَ الْحَسَنُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، فِي إعْطَائِهِ الْجِلْدَ
Tukang jagal tidak boleh diberi upah dengan sesuatu dari hewan qurban, ini juga pendapat Malik, Syafii, dan ulama-ulama ra’yi, walaupun ada juga yang membolehkan seperti pendapat Al-Hasan, Abdullah bin Ubaid bin Umair.
Terkait menjual kulit atau bagian lainnya, Imam Ahmad melanjutkan:
قَالَ أَحْمَدُ: لَا يَبِيعُهَا، وَلَا يَبِيعُ شَيْئًا مِنْهَا. وَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ كَيْفَ يَبِيعُهَا، وَقَدْ جَعَلَهَا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Tidak boleh menjualnya, tidak juga bagian darinya. Beliau berkata: Subhanallah, bagaimana mungkin ada yang menjualnya padahal hewan qurban tersebut sudah dipersembahkan untuk Allah swt.
Beliau melanjutkan:
وَلِأَنَّهُ جَعَلَهُ لِلَّهِ - تَعَالَى، فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ، كَالْوَقْف
Sebagaimana wakaf, maka apa yang sudah diperuntukkan untuk Allah swt tidak boleh dijual (lagi).
Adapun dalam madzhab Hanafi, Imam As-Sarakhsi (Al-Mabsuth, 12/14), menuliskan:
فَكَمَا يُكْرَهُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ جِلْدَهَا الْجَزَّارَ. فَكَذَلِكَ يُكْرَهُ لَهُ أَنْ يَبِيعَ الْجِلْدَ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ تَصَدَّقَ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوْ بَاعَ شَيْئًا مِنْ لَحْمِهَا.
Sebagaimana makruh hukumnya memberi kulit hewan qurban untuk tukang jagal,maka pun demikian makruh hukumnya menjula kulitnya, namun jika yang demikian terjadi (menjualnya) maka hasil penjualan tersebut harus disedekahkan, sebagaimana jika seandainya terjadi jual beli pada dagingnya.
Dalam kitabnya Bada’i' (5/81), Imam Al-Kasani, juga dari madzhab Hanafi menjelasakan:
وَلَا يَحِلُّ بَيْعُ جِلْدِهَا وَشَحْمِهَا وَلَحْمِهَا وَأَطْرَافِهَا وَرَأْسِهَا وَصُوفِهَا وَشَعْرِهَا وَوَبَرِهَا وَلَبَنِهَا الَّذِي يَحْلُبُهُ مِنْهَا بَعْدَ ذَبْحِهَا بِشَيْءٍ لَا يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ إلَّا بِاسْتِهْلَاكِ عَيْنِهِ مِنْ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالْمَأْكُولَاتِ وَالْمَشْرُوبَاتِ، وَلَا أَنْ يُعْطِيَ أَجْرَ الْجَزَّارِ وَالذَّابِحِ مِنْهَا
Tidak boleh menjual kulitnya, lemaknya, dagingnya, kepalanya, bulunya, rambutnya, susunya dengan sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan, dan tidak boleh memberi bagian apapun dari hewan qurban tersebut sebagai upah kepada tukang jagal.
Imam Al-Kasani melanjutkan:
فَإِنْ بَاعَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ نَفَذَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ
Jika seandainya menjualnya (terjadi), maka yang demikian tetap sah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad.
Dengan demikian maka:
Mayoritas ulama menilai tidak boleh memberi bagian apapun dari hewan qurban kepada tukang jagal, atau panitia qurban secara umum atas nama panitia, namun memberi mereka atas niat sedekah maka hukumnya boleh.Segala biaya untuk pemotongan hewan qurban harus diambilkan dari harta yang lain, bukan dari hewan qurban itu sendiri. Karenanya bagi panitia boleh meminta biaya tambahan untuk pemotongan bagi yang menitipkan hewan qurbannya kepada panitia qurban.Kepada seluruh panitia atau siapa saja yang terlibat dalam pemotongan hewan qurban ini juga harus sadar dengan atauran ini, jangan sampai ada kesan bahwa panitia meminta jatah kepala, atau paha atas nama gaji panitia. Mari bekerja sama yang baik agar qurban tersebut bernilai ibadah disisi Allah swt.Mayoritas ulama menilai bahwa tidak boleh menjual bagian apapun dari hewan qurban, termasuk kulitnya, karena apa yang sudah dipersembahkan untuk Allah maka penggunaanya tidak boleh dijual lagi, sama seperti wakaf.Jika kulitnya tidak ada yang mau menerimanya sebagai sedekah, maka manfaatkan kulit tersebut untuk beduk, atau yang lainnya. Atau sedekahkan kulit tersebut dengan seseorang dan setelah itu terserah dia mau menjualnya atau tidak, yang jelas aqad dari dia yang berqurban kepada penerima adalah sedekah.Jikapun terpaksa menjualnya, bagi para ulama yang membolehkannya, menilai bahwa kalau bisa menjualnya bukan dengan harta atau makanan dan minuman yang akan habis wujudnya, bisa dijual degan ganti barang lainnya, yang wujudnya ada.Atau jikapun harus menjualnya dengan ganti harta, walaupun yang demikian tidak boleh menurut mayoritas ulama, akan tetapi sebagian ulama Hanafiyah hanya menilainya makruh, maka hasil penjualannya tetap harus disedekahkan lagi.
Wallahu A’lam Bisshawab
0 komentar:
Posting Komentar