Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Selasa, 12 April 2016

Kontroversi Zakir Naik

SEKILAS TENTANG PEMAHAMAN DAN PEMIKIRAN DR ZAKIR NAIK

Dr Zakir Naik adalah sebuah fenomena baru yang muncul akhir-akhir ini. Sosoknya begitu melejit dan terkenal di Indonesia. Video-videonya pun sudah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diunggah ke Youtube secara besar-besaran. Hal ini sudah berlangsung bebera tahun lamanya.

Banyak orang khususnya umat Islam terkagum-kagum dengan sosok Zakir Naik. Seorang orator handal yang ahli dalam bidang perbandingan agama. Terkenal sebagai pendebat yang tak terkalahkan.
Namun, banyak yang tidak tahu bahwa di negara asalnya, di India, dan juga negara-negara sekitarnya seperti Pakistan dan Banglades justru memperingatkan umat Islam akan bahaya Zakir Naik. Para ulama di sana sampai harus mengeluarkan fatwa terkait bahaya pemahaman Zakir Naik.
Di saat Zakir Naik diterima dengan tangan terbuka di Indonesia, kenapa di negara asalnya sebaliknya? Ada apa dengan Zakir Naik. Mari kita simak penjelasan singkat tentang alasan penolakan pemahaman ajaran Zakir Naik. Sebagian besar tulisan ini adalah bersumber dari fatwa-fatwa para ulama Darul Ifta Darul Ulum Deobandi, India.
Zakir Naik: "Hal ini dibolehkan untuk memanggil nama Allah dengan menggunakan nama-nama dewa Hindu seperti 'Wisnu' yang berarti Rabb dan 'Brahma' yang berarti Pencipta. Ini diperbolehkan pada kondisi dimana seseorang tidak memiliki keyakinan tentang Wisnu bahwa ia memiliki empat tangan dan burung gunung." [Lihat: Islam dan Universal Brotherhood p.33 oleh Dr Zakir Naik]

Jawaban: Para ulama dan mufti di India menolak dengan tegas pemikiran Zakir Naik yang memperbolehkan memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan nama dewa Hindu seperti Wisnu atau Brahma. Tidak diperbolehkan untuk memanggil nama Allah dengan kata-kata non-Arab tersebut. Tidak boleh memanggil Dia (Allah) menggunakan nama yang tidak khusus bagi-Nya. Bagaimana mungkin diperbolehkan untuk memanggil Allah dengan nama-nama seperti Wisnu dan Brahma yang mana itu adalah bagian tanda-tanda dari ajaran Hindu?
Zakir Naik: "Diperbolehkan bagi setiap orang untuk mengeluarkan Fatwa karena arti kata Fatwa adalah untuk memberikan suatu pendapat." [Lihat: Ibid]

Jawaban: Sang pendebat ulung tersebut begitu mudahnya mengartikan Fatwa = Memberikan Pendapat. Sungguh ini pernyataan yang amat sangat berbahaya. Dan memang fakta di akhir zaman sekaran ini adalah seperti itu. Setiap orang bebas berbicara hukum-hukum Islam, bebas menafsirkan Quran dan Hadits, padahal tidak mempunyai kredibilitas dan kemampuan ilmu agama seperti Quran, Hadits, Bahasa Arab, dan lain sebagainya. Termasuk Zakir Naik sendiri bukanlah orang yang kompeten dalam mengeluarkan fatwa. Hal ini diungkapkan oleh Mufti Faizal Riza dari Darul Ifta Australia atau Majelis Ulamanya Australia dalam fatwanya yang mengatakan, "Zakir Naik bukanlah seorang yang Alim dan ahli dalam agama Islam. Keahliannya adalah dalam bidang perbandingan agama. Penampilannya tidak boleh digunakan sebagai ukuran dalam agama Islam".
 (Lihat: Fatawa Mahmudiya: vol. 27 pg. 403-407, Maktaba Mahmudiya, dan Jadeed Fiqhi Masa’il: vol. 1 pg. 232, Zamzam Publishers)
Zakir Naik: "Boleh menyentuh Al Qur'an tanpa wudhu".
Jawaban: Pernyataan Zakir Naik jelas berlawanan dengan ayat Al Quran لا يمسه إلا المطهرون dan juga para Imam Mujtahid. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Waqi'ah ayat 77-80:

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ ﴿٧٧﴾ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ ﴿٧٨﴾ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾ تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾

"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamin".
Wajibnya suci dari hadas kecil dan besar bagi yang hendak menyentuh kitab suci Al-Quran (mushaf) dan haramnya bagi yang tidak dalam keadaan suci merupakan pendapat yang disepakati (ijmak) oleh semua ulama dari keempat madzhab yaitu Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali.
MAZHAB HANAFI
Kamaluddin bin Abdul Wahid (Ibnu Hammam) dalam kitab Fathul Qadir 1/149 dan Al-Wiqayah hlm. 126 berkata:
يحرم مسّ المصحف في الجنابة والحيض والنفاس والحدث الأصغر إلا بغلاف متجاف ـ أي منفصلٍ عنه ـ، ويكره تحريماً اللَّمْسُ بالكُمّ على الصحيح؛ لأنه تابع للماس، فاللمس به لمس بيده.

"Haram menyentuh kitab suci Al-Quran dalam keadaan junub, haid, nifas, dan hadas kecil kecuali dengan pembungkus yang terpisah dari Quran. Dan makruh tahrim menyentuh Quran dengan lengan menurut pendapat yang sahih karena lengan itu ikut pada tangan. Jadi, menyentuh dengan lengan sama dengan menyentuh dengan 
tangan".
MADZHAB MALIKI
Al-Hafidz Ibnu Abdil Bar dalam Al-Istidzkar 2/472 berkata:

أجمع فقهاء الأمصار الذين تدور عليهم الفتوى وعلى أصحابهم، بأن المصحف لا يمسه إلا الطاهر، وهو قول مالك والشافعي وأبي حنيفة وأصحابهم والثوري والأوزاعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه وأبي ثور وأبي عبيد، وهؤلاء أئمة الرأي والحديث في أعصارهم، وروى ذلك عن سعد بن أبي وقاص وعبد الله بن عمر وطاوس والحسن والشعبي والقاسم بن محمد وعطاء، وهؤلاء من أئمة التابعين بالمدينة ومكة واليمن والكوفة والبصرة

"Ulama sepakat bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang yang suci (dari hadas kecil dan besar). Ini adalah pendapat Imam Malik, Syafi'i, Abu Hanifah dan para ulama mereka, Tsauri, Auza'i, Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawiyah, Abu Tsaur, Abu Ubaid; mereka adalah ahli ra'yi dan ahli hadis pada masanya. Mereka meriwayatkan pendapat tersebut dari Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Thaus, Hasan, Al-Sya'bi, Qasim bin Muhammad Atha'. Mereka semua adalah para Imam dari kalangan Tabi'in di Madinah, Makkah, Yaman, Kufah dan Bashrah".
MAZHAB SYAFI'I
Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Al-Muhadzab 2/80 berkata:
يحرم على المحدث مس المصحف وحمله سواء إن حمله بعلاقته أو في كمه أو على رأسه وحكى القاضي حسين والمتولي وجها أنه يجوز حمله بعلاقته وهو شاذ في المذهب وضعيف قال أصحابنا : وسواء مس نفس الأسطر أو ما بينها أو الحواشي أو الجلد فكل ذلك حرام . وفي مس الجلد وجه ضعيف أنه يجوز وحكى الدارمي وجها شاذا بعيدا أنه لا يحرم مس الجلد ولا الحواشي ولا ما بين الأسطر ولا يحرم إلا نفس المكتوب . والصحيح الذي قطع به الجمهور تحريم الجميع

"Haram bagi orang yang hadas (tidak suci) menyentuh dan membawa kitab suci Al-Quran baik membawanya dengan gantungan, atau pada lengan atau pada kepalanya. Qadhi Husain dan Mutawalli meriwayatkan pendapat lain bahwa membawa dengan gantungan itu boleh tapi ini pendapat yang minoritas dan lemah dalam madzhab Syafi'i. Ulama Syafi'i berkata: (keharaman itu) meliputi menyentuh tulisannya atau di antara tulisan atau bagian pinggir atau kulitnya. Semua itu haram. Namun dalam soal menyentuh kulit Quran ada pendapat yang dhaif bahwa itu dibolehkan. Al-Darimi meriwayatkan pendapat yang sangat syadz (langka) bahwa menyentuh kulit kitab suci itu tidak haram termasuk juga menyentuh bagian pinggir, antara tulisan tidak haram kecuali tulisan itu sendiri. Pendapat yang sahih seperti yang ditetapkan jumhur (mayoritas) ulama adalah haram 
semuanya".

MADZHAB HANBALI

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni 1/168 berkata:

لا يمس المصحف إلا طاهر: يعني طاهراً من الحدثين جميعاً، روي هذا عن ابن عمر والحسن وطاوس والشعبي والقاسم بن محم،د وهو قول مالك والشافعي وأصحاب الرأي، ولا نعلم مخالفاً لهم إلا دواد)
"Tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran kecuali orang yang suci. Maksudnya, suci dari dua hadas besar dan kecil semuanya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Al-Hasan, Thawus, Sya'bi, Al-Qasim bin Muhammad. Ini adalah pendapat dari Imam Malik, Syafi'i, dan ulama Ahli Ra'yi. Kami tidak mengetahui pendapat yang berbeda kecuali Dawud".
Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa Al-Kubro 1/282 menyatakan:

مسألة: هل يجوز مس المصحف بغير وضوء أم لا ؟ الجواب: مذهب الأئمة الأربعة: أنه لا يمس إلا طاهر، كما قال في الكتاب الذي كتبه رسول الله صلى الله عليه وسلم لعمرو بن حزم رضي الله عنه: ((إنه لا يمس القرآن إلا طاهر)). قال الإمام أحمد: لا شك أن النبي صلى الله عليه وسلم كتبه له، وهو أيضاً قول سلمان الفارسي وعبد الله بن عمر وغيرهما، ولا يعلم لهما من الصحابة مخالف.

"Pertanyaan, apakah boleh menyentuh mushaf Al-Quran tanpa wudhu? Jawab, menurut para Imam madzhab empat tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci sebagaimana sabda Nabi dalam surat yang ditulisnya untuk Amr bin Hazm "Bahwa tidak boleh menyentuh Quran kecuali orang yang suci." Imam Ahmad (bin Hanbal) berkata: Tidak diragukan lagi bahwa Nabi menulis surat tersebut pada Amr bin Hazm. Ini juga pendapat Sahabat Salman Al-Farisi, Abdullah bin Umar dan lainnya. Tidak ada dari Sahabat lain 
yang berpendapat berbeda".

Dalam suatu acara, Zakir Naik mengatakan terkait wanita yang sedang haidh: "(Bagi wanita haidh) ada izin (tidak) shalat di dalam Quran dan Hadits tetapi tidak ada satu hadits pun yang menyatakan wanita (haidh) tidak boleh membaca Al Quran".
Jawaban: Pendapat jumhur ulama Fuqaha’ melarang wanita membaca al-Qur’an ketika dalam keadaan haidh dan sedang berjunub, berdasarkan kepada hadits dari Ibn Umar Radhiyallohu 'Anhu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَقْرَأُ الحَائِضُ وَلَا اْلجُنُبُ شَيْئاً مِنَ القُرْآنِ
“Dari Ibnu Umar Radhiyallohu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shollallohu 'Alaihi wa Sallam bersbada: Tidak boleh bagi orang yang haidh dan orang yang dalam keadaan junub membaca ayat Al-Qur`an” (HR al-Tirmizi (131))
Ini adalah contoh sebuah hadits tentang larangan wanita haidh membaca Al Qur'an. Lalu, bagaimana bisa Zakir Naik mengatakan TIDAK ADA SATUPUN HADITS terkait hal tersebut? Tidak ada atau tidak tahu?
Zakir Naik: "Tidak ada bukti otentik yang berasal dari Hadits dimana ada perintah bagi wanita untuk melakukan shalat dengan cara yang berbeda dengan laki-laki. Sebaliknya, yang ada adalah hadits Shahih Bukhari, dari Ummu Darda' bahwa ada perintah bagi perempuan untuk duduk pada Tahiyyat seperti laki-laki".
Jawaban: Pernyataan Zakir Naik ini sama saja menolak semua hadits terkait perbedaan cara shalat antara laki-laki dan perempuan. Diantaranya hadits Nabi yang menyebutkan:

السنن الكبرى للبيهقي - (ج 2 / ص 223)
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على امرأتين تصليان فقال إذا سجدتما فضما بعض اللحم إلى الارض فان المرأة ليست في ذلك كالرجل

“Sesungguhnya baginda Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam telah menemukan dua wanita yang sedang shalat, kemudian beliau bersabda: “Bila kalian sujud maka pertemukanlah sebagian daging pada tanah. Sesungguhnya sujud wanita tidak sama dengan sujudnya laki-laki”. [HR. Al-Baihaqy].
Kemudian dalam hadits lain tentang mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat, disebutkan:
Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ، إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِيْنَ يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ…
“Wahai manusia, kenapa jika terjadi sesuatu dalam shalat kalian bertepuk tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita. Barangsiapa menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan: Subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika ia mengucap: Subhaanallah melainkan ia telah berpaling… (Muttafaq ‘alaihi: [Shahih al-Bukhari (Fat-hul Bari) (III/107 no. 1234)], Shahih Muslim)
Hadits-hadits yang lain diantaranya juga menyebutkan tentang perbedaan cara shalat laki-laki dan perempuan seperti:

عن وائل بن حجر قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم يا وائل بن حجر! إذا صليت فاجعل يديك حذاء أذنيك والمرأة تجعل يديها حذاء ثدييها. المعجم الكبير للطبراني
سئل ابن عمر كيف كن النساء يصلين على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كن يتربعن ثم أمرن أن يتحفزن . جامع المسانيد والسنن
Lagi-lagi, Zakir Naik mengatakan tidak ada hadits yang menyatakan perbedaan shalat laki-laki dan perempuan. Bukankah ini bukti pengingkaran Zakir Naik terhadap hadits Rasulullah?
Kemudian terkait Ummu Darda, tidak ada yang menyebutkan perintah atau ucapan Rasululllah di dalamnya, yang ada adalah tindakan dari seorang Sahabiyah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ مَكْحُولٍ، قَالَ: كَانَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ تَجْلِسُ فِي صَلاتِهَا جِلْسَةَ الرَّجُلِ، وَكَانَتْ فَقِيهَةً

"Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia
 berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Tsaur, dari Mak-huul, ia berkata: “Adalah Ummud-Dardaa’ duduk dalam shalatnya dengan cara duduk laki-laki, dan ia seorang wanita yang faqih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath 1/332 no. 717. Lihat juga dalam Taghliiqut-Ta’liiq oleh Ibnu Hajar, 2/329].
Kembali, Zakir Naik sang pendebat ulung tersebut keliru dalam memahami hadits Rasulullah Shollallohu 'Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Dari sini saja kita sudah dapat memahami siapa sebenarnya Zakir Naik. Ia memang seorang pendebat ulung yang ahli dalam bidang perbandingan agama, tetapi ia bukanlah seorang ulama yang dapat dijadikan rujukan umat Islam dalam memahami dan menggali hukum-hukum Islam. Sebenarnya masih banyak penyimpangan dan kekeliruan lain dari ajaran yang dibawa oleh Zakir Naik. Tetapi ini saja dirasa sudah lebih dari cukup menggambarkan bagaimana ajaran Zakir Naik yang sesungguhnya. Untuk itu, tidaklah salah jikalau kita mesti berhati-hati terhadap sosok Zakir Naik agar tidak tergelincir dalam beragama. Yang mau mengikuti pemikiran Zakir Naik juga tidak dilarang, hanya saja umat mesti diperingatkan agar lebih berhati-hati.
Para ulama juga telah banyak memperingatkan akan bahaya pemikiran Zakir Naik. Kalau di Mesir itu ada Darul Ifta Al Mishriyah Al Azhar maka di India ada Darul Ifta Darul Ulum Deobandi. Mufti Darul Ifta Darul Ulum Deobandi India, negara dimana Zakir Naik berasal, dalam fatwanya mengatakan Zakir Naik bukanlah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam banyak hal terkait aqidah, penafsiran Al Quran dan Hadits. Ia tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu-ilmu agama dan syariat, dan tidak mengikuti para Imam Madzhab bahkan justru menyalahkan para Imam tersebut. Bahkan dalam suatu kesempatan seringkali Zakir Naik mengatakan para Mufassirin telah salah. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan Zakir Naik. Sesungguhnya ia tidak layak untuk diikuti dan sangat berbahaya untuk menonton program-programnya, mendengarkan orasinya, dan lain sebagainya. Umat Islam secara umum disarankan untuk meninggalkan acara-acaranya agar selamat dunia akhirat. Lihat bagaimana ia menuntut ilmu agama, siapa guru yang mengajarkan ilmu agamanya, dari lingkungan mana ia tumbuh dan dibesarkan, dan apakah ia suka bergaul dengan para ulama dan orang-orang sholeh? Lihat apa kata para ulama tentang dirinya.
Berikut cuplikan fatwa mufti Darul Ifta Darul Ulum Deobandi tentang bahaya pemikiran Zakir Naik:

========== awal kutipan ==========
In summary, in the light of these points we learn that Dr. Zaakir Naik has moved away from the Ahl us Sunnah wal Jama'ah in many rulings regarding belief, in the explanation of the Qur'aan and Hadith, he leaves out lexical meanings and the Tafseer narrated from the pious predecessors and takes help from his twisted intellect. He has fallen prey to interpolating the meanings. In addition to this, despite not having deep knowledge of religious sciences and ignorance of the objective of the Shari'ah, he does not follow a specific Imam. In fact, he goes the other way and criticises the Mujtahid Imams. Therefore, his talks are not worthy of consideration. It is very harmful to watch his programmes, listen to his speeches and to practice upon them without research. It is definitely not the work of any person to do research. Therefore, the general Muslims should stay away from his programmes. Also, every Muslim should remember that the matter of Deen is something felt. Man hears talks of Deen and practices only to find salvation in the Aakhirat. They should not practice just upon new research, quick answers-vast amounts of references and by apparently seeing his acceptance amongst people. In fact, it is necessary upon man to think that what standing this person has in religious sciences. From which teachers did he acquire knowledge? In what environment did he grow up? How are his ways, dressing and countenance. Does he mix with the other 'Ulema' and pious luminaries? Also, what do the scholars and Mashayikh of his time say about him? Similarly, it should also be seen whether those who take effect from him and those around him, how much awareness they have of Deen and reliable people that serve Deen are how many? If he has a number of reliable people around him, then it is necessary to know from them how he is. Why are they close to him? It should not be that they show themselves close to him because of misunderstanding, ignorance or because of some expediency. The crux of this is that if after research, a person gets contentment, then only his talks will be accepted to be reliable and worthy of practicing upon, otherwise there is safety for a person's faith by staying away from him.
The famous Taabi'i, Muhammad Bin Seereen (RA) says, (إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم) i.e. in order to listen and learn Deen, it is necessary to ponder deeply as from which people is knowledge being taken and being learnt. May Allaah (SWT) bless every person with the ability to tread the straight path. Ameen.

========== akhir kutipan ==========
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi dan menyelamatkan aqidah kita. Wallohu A'lam.

(Dikutip dan dialihbahasakan dari Fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Darul Ifta, Darul Ulum, Deobandi, India.)
Baca selengkapnya: 
http://www.elhooda.net/2016/04/pemahaman-dan-pemikiran-dr-zakir-naik-yang-sebenarnya/.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel