Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Kamis, 14 April 2016

Inilah Alasannya Mengapa 4 Imam Mazhab Tidak Pakai Hadis Bukhory Muslim


by Santri Admin

Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya tertarik dengan jawaban ustadz dalam tanya jawab sebelumnya, bahwa keshahihan suatu hadits itu ternyata hasil ijtihad. Mungkin buat saya yang awam ini, apa yang ustadz sampaikan masih agak membingungkan, jadi mohon penjelasan lebih lanjut.
Selama ini yang saya pahami bahwa kalau ada hadits shahih, kita wajib ikut. Malah teman saya bilang, tinggalkan semua pendapat ulama kalau sudah ada hadits shahih. Sebab menurutnya para ulama empat mazhab sendiri yang mengatakan bahwa kalau suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.
Ternyata ustadz bilang bahwa keshahihan hadits itu sendiri justru hasil ijtihad manusia juga. Mohon penjelasan dari ustadz dalam masalah ini. Terima kasih sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.
Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.
Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.
Imam Bukhari Berijtihad
Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau menerima wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu.
Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.
Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.
Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.
Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?
Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir.
Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya.
Sebutlah misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa’. Di zamannya, kitab Al-Muwaththa’ ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal hadits-hadits di dalamnya.
Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Hal itu terjadi karena para shahabat dan para tabi’in hidup lebih dulu dari keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa menggunakan hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya.
Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.
Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Cuma baru sampai m engetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.
Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa’ yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.
Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.
Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.
Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.
Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.
Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.
Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel