Membongkar Kebohongan Wahaby
Beberapa riwayat yang dijadikan sandaran oleh Ulama Wahaby untuk klaim adanya Ijma' tentang keberadaan Allah di langit :
1. Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)
Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu – dan para tabi’in masih banyak- kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya, dan kita beriman dengan sifat-sifat-Nya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)
Jawaban :
Tidak ada keraguan jika al-Imam al-awza’i adalah Ulama besar panutan Ahlu Sunnah (asy`ariyah) yang wajib diikuti , hanya apakah riwayat ini bersifat Qoth’i (pasti) atau riwayat ini bersifat Dzani ( tidak pasti) yang sama sekali tidak diterima oleh Ulama Ahlu Sunnah? Karena riwayat yang bersifat Dzani tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah.
Marilah kita kenali rawi-rawi dalam riwayat ini !!!
Dalam sanad riwayat ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin katsir al-mashishi (urut 4):
* al-Mashishi menurut Imam Ahmad hadistnya Mungkar atau meriwayatkan sesuatu yang mungkar.
* disebutkan pula oleh Imam ibnu Adi dalam al-Kamil. Imam ibnu Adi mengatakan al-mashishi mempunyai riwayat-riwayat dari Ma’mar dan Al-aw-za’i khususnya Hadist-hadist A’dad yang tidak diikuti oleh seorang pun.
* Demikian juga disebutkan dalam kitab al-jarh wa at-ta’dil juz 8 hal 69, al-mashishi di dha’ifkan oleh Imam ahmad, disifati sangat lemah. Jika para Imam Ahli jarh wa-ta’dil sudah melakukan Jarh seperti ini maka riwayatnya sama sekali tidak bisa diterima apalagi dijadikan Hujjah dalam Aqidah.
Terlebih Dalam riwayat ini al-Mashishi meriwayatkannya dari Ibrohim bin al-haitsam (urut 3), berkata al-Uqoili dalam kitab ad-Du’afa juz 1 hal 274: dia (Ibrohim al-haitsam) meriwayatkan Hadist yang dianggap Dusta oleh ahli Hadist dan ahlul Hadist menyerangnya dengan periwayatan Hadist yang dianggap dusta itu.
Dengan demikian dua orang rawi dalam atsar ini jatuh, al-Mashishi tertuduh meriwayatkan yang Mungkar dan al-Haitsam tertuduh dusta, sehingga hukum atsar ini Maudhu’. Otomatis hal ini menggugurkan sandaran pertama ini dalam klaim adanya Ijma'nya menjadi gugur !!!
2. Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H)
Beliau berkata :
ﻩ ﺫﺍ ﻗﻮﻝ ﺍﻻﺋﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ : ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺟﻞ ﺟﻼﻟﻪ : ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ
“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103).
Jawaban :
Qutaibah bin Said syeikh Khurosan tidak diragukan ke-imamannya, hanya saja riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist. Lihat Lisanul Mizan juz 5 hal 149, an-Naqosy juga disebutkan dalam al-Kasyf al-Hatsist tentang rawi-rawi yang tertuduh dengan pemalsuan dengan nomer 643, meninggal tahun 351 hijriyah.
Sementara Abu Ahmad al-Hakim meninggal tahun 398 hijriyah terpaut waktu 39 tahun, sehingga tidaklah benar jika dia meriwayatkan dari Abul abbas as-siraj, karena as-siraj lahir pada tahun 218 h meninggal tahun 313 sebagaimana disebutkan dalam Tarikh baghdad juz 1 hal 248. Artinya, ketika as-siraj meninggal al-hakim baru berusia 7 tahun bagaimana bisa shahih riwayatnya? Jelas ucapan ini adalah Dusta yang dibuat an-naqosy, terlebih an-naqosy terkenal sebagai pemalsu !
3. Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran” (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)
Jawaban :
Ibnu Qutaibah seorang Mujassim, lihatlah perkataannya dan perhatikan : “Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran”. Perkataan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya Ijma’ sebagaimana yang di dakwakan oleh para ulama Wahaby.
Terlebih Ulama Asy’ariyah hanya menerima Qur`an dan hadist yang bersifat qoth’i sebagai Hujjah dalam Aqidah. Kalaupun ada Ijma’ ia harus bersandar kepada Qur’an dan hadist, bukan bersandar kepada perkataan seluruh Ummat.
Ibnu Qutaibah mencoba berdalil dengan omongan semua orang baik Hindu, Atheis, Konghucu dan sebagainya dan ini adalah perkataan Bathil. Dengan demikian Status hujjah menjadi Gugur !!!
Apakah Ibnu Qutaibah menganggap seorang Atheis pun ber-Aqidah-kan “Allah di langit” sehingga berani mengatakan SELURUH UMMAT dst…?”
4. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (wafat 280 H)
Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi, “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)
Jawaban :
a). Abu said Ustman bin said ad-darimi as-sajzi bermadzhab hanbali, dia seorang mujassim musyabih dari golongan Hasywiyah wafat tahun 282 Hijriyah. Konon wafat tahun 280 hijriyah, Tasybih yang jelas terlihat dari Ucapannya : ”bahwa orang yang berada di puncak gunung lebih dekat kepada Allah ketimbang orang yang berdiri di bawah gunung.” Lihat al- Maqolat il Allamah al-Kautsari hal 282.
Sungguh ucapan ini bertentangan dengan Hadist shahih di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rosulallah SAW bersabda: ” seorang Hamba Lebih dekat kepada Tuhannya ketika ia dalam keadaan Sujud” , dan bahkan bertentangan dengan Al- Qur’an: “Sujudlah dan mendekatlah. ” (qs. Al-alaq. 19). Dalam ayat ini posisi sujud digandengkan dan diidentikkan dengan kedekatan dengan Allah, ayat ini jelas bertentangan dengan perkataan dan keyakinan Abu said ad-darimi diatas.
b). Status Hujjah gugur karena dua hal:
1. Abu said ad-Darimi menyandarkan aqidahnya ini kepada ucapan ummat islam (entah ummat islam yang mana) dan ucapan Ummat Kafir ( yang tantu aqidahnya berbeda dengan muslimin ). Harusnya Abu Said Ustman ad-Darimi menyandarkan Aqidahnya kepada Qur’an dan Hadist yang shahih atau minmal kepada pernyataan Ulama Muslimin (ahlu Sunnah ), bukan kepada Ucapan orang Kafir.
2. Aqidah abu said ustman ad-darimi bertentangan dengan Qur’an dan Hadist sebagaimana saya sebutkan diatas.
3. Abu Said Ustman ad-Darimi bukanlah Imam Ahlu sunnah yang terkenal itu, sebab Imam ahlu sunnah adalah : Al-imam Al-hafidz Abu Muhammad abdullah bin Abdurohman bin Fadl bin Bahrom ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqondi, beliaulah penulis kitab Sunan ad-Darimi wafat tahun 255 hijriyah.
Hati-hatilah jangan sampai tercapur aduk antara ad-darimi Imam ahlu sunnah dengan ad-darimi ahlu Bid`ah. Dengan demikian Status hujjah gugur, karena omongan ini keluar dari Ahlul Bid`ah Ustman ad-Darimi yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist diatas.
5. Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)
Beliau berkata :
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺭﺃﻳﺖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻟﻘﻴﻨﺎﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para s ahabat kami – dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai – bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsy-Nya di langit, Ia dekat dengan makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya”. (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)
Jawaban:
Qoul ini diriwayatkan oleh ibn Bathoh al-U’kbari nama lengkapnya : Abu Abdullah Ubaidillah ibn Muhammad ibn Bathoh al- U’kbari, seorang Mujassim bermadzhab Hanbali sekaligus seorang pemalsu hadist (wadho’). Dilahirkan tahun 304 dan wafat pada tahun 387 hijriyah. Konon dialah pencetus Aqidah Pembagian Tauhid .
Al- Hafidz Ibnu Hajar al-Astqolani mengatakan dalam kitabnya Lisanul Mizan juz 4 hal 113: “Aku memikirkan Ibnu Bathoh atas sebuah perkara yang sangat besar hingga kulitku merinding darinya. Kemudian aku tetapkan bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist (wadho’) , dan dia mempunyai kebiasaan mencungkil nama-nama para imam ahli hadist. Kemudian dia letakkan namanya ditempat nama Imam yang dicungkilnya.
Begitu juga al-Khotib al-Baghdadi menyebutkan sebuah Hadist di mana sanad hadist tersebut terdapat Ibnu Bathoh, kemudian al-khotib al-baghdadi mengatakan Hadist ini palsu dengan jalur sanad ini, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Bathoh. Ibnu Bathoh meriwayatkan atsar ini dari Ahmad ibn as-Saji.
Al-Albani dalam Mukhtasor al-uluw hal. 223 mengakui bahwa Ahmad ini tidak dikenal alias majhul, status hujjah GUGUR.
6. Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254, “Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”
Jawaban :
Ibnu Khuzaimah Mujassim pada awalnya terkenal dan sangat sadis. Beliaulah yang berfatwa Kafirnya orang yang tidak mengakui Bahwa Allah berada di atas langit maka orang tersebut harus dibunuh jika tidak mau tobat dan mayatnya dibuang ke tempat sampah.
Namun al-hamdulillah akhirnya beliau tobat dari Aqidah tajsim ini seperti yang dinyatakan oleh Imam al-baihaqi dalam asma wa as-sifat hal. 269 . Begitu juga dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari juz 13 hal 492.
Jadi rupanya para ulama Wahaby belum tahu atau pura-pura tidak tahu jika penulis kitab ” at-Tauhid ” (ibnu khuzaimah) telah tobat dari aqidah yang tertulis dalam kitabnya itu.
7. Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :
“ ﺑﺎﺏ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﺨﻠﻘﻪ ”
ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﻤﻮﺍﺗﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﺠﻤﻴﻊ ﺧﻠﻘﻪ
ﻭﻻ ﻳﺄﺑﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﻳﻨﻜﺮﻩ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺍﻧﺘﺤﻞ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻟﺤﻠﻮﻟﻴﺔ ﻭﻫﻢ ﻗﻮﻡ ﺯﺍﻏﺖ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻭﺍﺳﺘﻬﻮﺗﻬﻢ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻓﻤﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺫﺍﺗﻪ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ .” ﺍﻧﺘﻬﻰ
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah B erada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).
Jawaban :
Lagi-lagi ulama Wahaby ber-hujjah dengan seorang Wadho’ alias pemalsu, status Hujjah gugur lagi.
Lihat kembali tanggapan / jawaban di atas poin yang ke 5.
8. Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
” ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ “ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ” . ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ : ﺃﻧﻪ ﻋﻠﻤﻪ ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﺑﺬﺍﺗـﻪ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ”
ﻭﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ : ﺇﻥ ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺠﺎﺯ .”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315)
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).
Jawaban :
Tahukah para ulama Wahaby bahwa Adz-Dzahabi juga mengatakan dalam Siar ‘Alam an-Nubala juz 17 hal 567, Adz-Azahabi berkata: “Saya melihatnya ( at-Tholamanki , pent) menulis kitab yang diberi judul As-Sunnah dua jilid. Secara umum kitab itu baik hanya saja dalam beberapa bab dalam kitab tersebut ada hal yang selamanya tidak akan sejalan (denganku-pent), seperti bab janb (lambung / sisi Allah ) dalam bab itu dia menyitir firman Allah : “Sungguh rugi atas apa yang aku lalaikan di sisi Allah, hal ini merupakan bentuk ketergelinciran seorang Alim. Orang ini Mujassim omongannya tidak perlu dianggap.
Sandaran ulama Wahaby yang ke 8 ini pun gugur. Karena Imam Adz-Dzahabi pun tidak sejalan dengannya.
9. Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)
Jawaban :
Yang shahih dari Ucapan Imam As-shobuni hanya : “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana?
Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni, pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma’ tentang keberadaan Allah di langit sebagaimana yang di Klaim oleh ulama Wahaby. Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak oleh Wahabi.
10. Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :
Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”
Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321
Jawaban :
Kenapa ulama Wahaby tidak sekalian menyertakan perkataan Adz-Dzahabi dalam al-uluw ketika berbicara tentang As-sajzi?
Berkata adz-dzahabi: "Bahwa lafadz ”Dzat” bukanlah pernyataan yang masyhur dan terjaga dari para Imam yang disebutkan oleh as-sijzi. Lafadz ”Dzat” itu dari kantongnya As-sijzi bukan dari para Imam. As-Sijzi juga terkenal dengan Tahrif (merubah) hadist sebagai contoh As-Sijzi merubah Hadist ar-rohmah al-musalsal bil awliyah dari jalur Abi Qobus al-Majhul dengan Lafadz ”yarhamkum man fi as-sama” padahal lafadz hadist dari Abu Qobus al-Majhul dalam musnad Ahmad juz 2 hal. 160 ”yarhamkum Ahlu as-sama”.
Begitu juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu hajar dalam Mu’jam al-Syaikhokh Maryam (makhtut) masih berupa manuskrip bahwa Aba Daud juga meriwayatkan dengan Lafadz ”Yarhamkum Ahlu as-sama”.
Apakah menurut ulama Wahaby riwayat seorang Muharif ( tukang merubah) bisa diterima? Apakah riwayat (berita) yang telah dirubah isinya dapat dijadikan Hujjah? Mengingat riwayat–riwayat palsu pun dijadikan sandaran oleh ulama wahaby seperti riwayat-riwayat yang telah lalu, tidak aneh jika riwayat yang telah dirubah pun dijadikan sandaran oleh ulama Wahaby.
Status hujjah gugur bagi orang yang masih berakal sehat.
11. Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,
“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261)
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah.
Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)
Jawaban :
Kitab al-I’tiqod karya Abu Nu`aim Al-ashfahani tidak ada wujudnya, ini merupakan kitab Majhul yang hanya diketahui oleh Imam Adz-dzahabi. Terlebih adz-Dzahabi sendiri telah meninggalkan faham yang dianutnya dalam kitabnya al-Uluw ini.
Coba tunjukkan wujud asli kitab i’tiqod yang dinisbatkan kepada abu Nu’aim, atau kitab Majhul pun menurut ulama wahaby bisa dijadikan referensi?
Status Hujjah gugur karena kitab al-I’tiqod Abu Nu’aim adalah kitab Majhul, terlebih dalam tulisan ini ulama Wahaby banyak menyandarkan hujjahnya pada para Pembohong dan Pemalsu seperti yang telah lewat diatas.
12. Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)
Berkata Ibnu Abi Hatim :
“Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, iraq, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:
Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang…
Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)
Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,
“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201.
Jawaban :
Riwayat ini tidak sah dinisbatkan kepada Abu Zur’ah begitu juga jika dinisbatkan kepada Abu hatim. Riwayat ini diriwayatkan dari tiga jalur sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahzbi dalam Al-Uluw.
Dua jalur pertama terdapat dua Rawi yang majhul, keduanya yaitu : Ali ibn Ibrohim meriwayatkan dari Ibn Jami’ , rawi majhul yang satunya Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada biografi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul. Sebagaimana riwayatnya terdapat dalam sarh Sunnah Al-Lalikai juz 1 hal 176.
Jalur ketiga atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Murdik jarak kematiannya dengan Abu Hatim 60 tahun sebagaimana disebutkan dalam
Tarikh Baghdad juz 12 hal 30.
Seperti diketahui secara luas oleh ahli bahwa Abu Zur’ah dan Abu Hatim tidak dikenal berbicara dalam masalah seperti ini sebagaimana keduanya juga dikenal tidak mempunyai karya tulis dalam Bab Aqidah persis seperti teman keduanya yaitu Imam Ahmad Ibn Hambal yang juga mengatakan: “Tidak ada yang melewati jembatan Baghdad orang yang lebih Hafidz dari Abu Zur’ah, beliau adalah termasuk salah satu Wali Abdal yang dengannya Bumi terjaga.”
Kami katakan: "Andai pernyataan sepert itu Muncul dari golongan Asy’ariyah atau Sufiyah Pasti kaum wahabiyyin akan menuduh Kafir, Musyrik, dan Ahli Bid’ah!"
Status Hujjah gugur , karena rawi-rawinya Majhul.
13. Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)
Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),
“Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)
Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :
“Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)
Beliau juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)
Jawaban :
Inilah pentingnya menggabungkan antar riwayat, sehingga memberikan pemahaman yang utuh sesuai dangan maksud penulis, sebab Ibnu Abdil Bar dalam dalam At-Tamhid juga mengatakan :
Pertama:
“Bahwa Khobarul wahid (hadist ahad ) tidak memberikan keyakinan pasti (ilm) hanya mewajibkan untuk diamalkan ( hanya berlaku dalam furu’, pent).” Tentu hal ini bertentangan dengan kaum wahabiyyin, yang menjadikan khobarul wahid (hadist ahad) sebagai Hujjah dalam Aqidah , bahkan dalam banyak tulisan ulama Wahaby membawakan atsar – atsar Mungkar tidak sah bahkan Maudu’ untuk landasan Aqidah, sebagaimana yang telah lewat diatas.
Kedua:
Ibnu Abdil Bar juga mengingkari pernyataan Nu’aim bin Hammad yang menyatakan bahwa ”Allah turun dengan Dzatnya sementara dia diatas kursinya ”, berkata Ibnu Abdil Bar : ” ucapan ini bukanlah sesuatu (yang dapat dipegang- pent.) di kalangan ahli, karena ini merupakan kaifiyah (membagaimanakan-pent) sementara Ahli Ilmu lari dari pernyataan seperti ini karena pernyataan seperti itu tidak bisa difahami kecuali terhadap sesuatu yang terlingkupi penglihatan ( bersifat fisik-pent).
Ketiga:
Ibnu Abdil Bar juga mengatakan : telah bersepakat Ulama shahabat dan tabi’in yang dari mereka dibawakan takwil dst…, menunjukkan jika takwil itu boleh dan dibenarkan karena datang dari para sahabat dan tabi`in , lalu kenapa Wahabiyyin dalam masalah istiwa pun melarang takwil? Lebih dari itu Wahabiyyin menganggap sesat orang yang melakukan Takwil..
Ke empat:
Ibnu Abdil Bar mengatakan: telah berkata Ahli Atsar (tentang Hadist Nuzul –pent) bahwa yang turun adalah Perintah dan rahmatnya, kemudian beliau menyebutkan riwayat hingga Imam Malik rodiuallahu anhu dan berkata: bisa jadi (pentakwilan ini -pent) seperti perkataan imam malik rohimahullah yang bermakna ”Turunnya Rohmat dan Qodhonya (ketetapan-pent) dengan pengampunan dan penerimaan, At-Tamhid 7/ 144 .
Ke lima:
Dari pernyataan-pernyataan yang digabungkan ini , jelas-lah Aqidah sang Imam bahwa Beliau adalah seorang Mufawwidh, yang salah difahami oleh ulama Wahaby sehingga dijadikan landasan dan Hujjah akan klaim Ijma'nya. Lihatlah sang Imam mengingkari istiwa dengan ”Dzatnya” dan sang Imam pun membolehkan Takwil. Lalu mengikuti siapakah kawan-kawan wahabiyiin ini? Para ulama Wahaby menolak Tafwidh dan takwil, padahal keduanya ( Tafwidh dan Takwil) adalah Manhaj atau metodologi yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah) sepanjang masa, sehingga status Hujjah ulama Wahaby menjadi gugur karena Imam Ibnu Abdil Bar adalah seorang Mufawwidh.
Bahkan dilain kesempatan ada ulama wahaby di Indonesia yakni ustadz Firanda mengatakan: “Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf.”
Jawab:
Para pembaca yang budiman ternyata setelah dilakukan pengecekan secara seksama semua riwayat yang ustadz Firanda jadikan sandaran adalah tidak sah , Mungkar bahkan maudu’ sebagaimana tadi kita kupas satu per satu. Bukankah ustadz Firanda dan semua wahabiyyin menolak Hadist-hadist dha’if meskipun hanya untuk Fadailul a’mal? Tetapi kenapa justru pada masalah ushul/Pokok (Aqidah) sebagai Pondasi Iman seorang Muslim, justru Ustadz Firanda menyuguhkan dan bahkan menggunakan perkataan Ulama yang riwayatnya tidak sah , Mungkar bahkan maudhu’? Diletakkan di mana semboyan: ”hanya menggunakan hadist-hadist shahih-nya?”
Ijma' yang oleh para ulama Wahaby khususnya oleh Ustadz Firanda klaim itu hanya berdiri di atas ketidak-absahan, kemungkaran dan kepalsuan !!!
Demikian kajian atas Klaim ijma tentang ”keberadaan Allah Di langit” telah gugur seiring dengan gugurnya para Rawi yang meriwayatkannya. Dan sebenarnya masih banyak qoul –qoul lainnya yang dinisbatkan kepada para Ulama Ahlu Sunnah ( Asy’ariyah ) yang jika diteliti sanadnya akan menghasilkan hal yang sama dengan atsar-atsar yang ditampilkan para ulama Wahaby, statusnya akan sama (gugur) karena riwayat-riwayat itu sebagian besar adalah Tidak Sah , Mungkar , dan maudhu’.
Adapun Ijma' yang benar di kalangan Ahlu Sunnah Wal-jama’ah adalah keyakinan Bahwa ”Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah ”. Ijma' ini dinukil Oleh Al-imam Al-Hafidz An-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 5 hal. 24 cet. Darul Fikr, juga Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-atsqolani Al-Imam Al- Hafidz az-zabidi. Ijma' ini pun dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma' halaman 167.
Wa Alloohu a'lam....
0 komentar:
Posting Komentar