Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Rabu, 08 November 2017

Ikhtiyarat Imam Nawawi



Imam Nawawi adalah salah seorang ulama besar dalam Madzhab Syafi'i. Kehebatan beliau dalam meneliti Madzhab Syafi'i diakui oleh para ulama, sehingga beliau dijuluki sebagai Muhaqqiq (pemegang otoritas) Madzhab. Artinya, apa yang beliau sahkan sebagai Madzhab, maka itulah Madzhab yang sebenarnya.

Namun demikian, beliau memiliki beberapa pendapat pribadi yang berseberangan dengan Madzhab. Pendapat-pendapat pribadi tersebut dikenal dengan istilah "ikhtiyarot" yang artinya pilihan.

Berikut ini beberapa ikhtiyarot beliau:

1. Wajib berwudhu karena mengkonsumsi daging unta. Pendapat ini juga selaras dengan madzhab Imam Ahmad.

2. Tidak makruh bersiwak di siang hari bulan Ramadhan secara mutlak. Pendapat ini selaras dengan pendapat Al Muzani (murid Imam Syafi'i) dan juga pendapat mayoritas ulama.

3. Perhitungan masa mengusap Khuf dimulai sejak mengusap pertama kali setelah batal wudhunya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Daud Az Zhohiri.

4. Orang yang melepas Khufnya atau masa aktif mengusap Khufnya berakhir, padahal wudhunya masih belum batal, maka tidak ada kewajiban membasuh apapun, baik kedua kakinya maupun selain itu. Artinya, wudhunya masih sah dan dia boleh shalat dengannya selama belum batal. Jadi, statusnya sama dengan ketika dia belum melepas Khufnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Sulaiman bin Harb dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.

5. Boleh menjamak shalat karena sakit.

6. Haram berjimak dengan istri yang sedang haid, tapi tidak apa-apa bersenang-senang dengan bagian tubuh istri antara pusar sampai lutut.

7. Boleh memanjangkan iktidal dengan membaca dzikir selain rukun.

8. Haram melihat bocah kecil yang tampan.

Masih banyak lagi pendapat-pendapat pilihan beliau yang berseberangan dengan Madzhab. Meskipun demikian, bukan berarti beliau telah keluar dari komunitas Madzhab Syafi'i dengan pilihan pribadi tersebut. Beliau tetap menjadi anggota "Very Important Person" (VIP) dalam Madzhab Syafi'i. Karena jumlah pendapat-pendapat pribadi yang beliau pilih itu masih sangat sedikit dibandingkan dengan pendapat-pendapat beliau yang sesuai dengan Madzhab. Beliau juga bukan satu-satunya ulama Madzhab Syafi'i yang memiliki "ikhtiyarot" semacam itu. Selain beliau ada juga ulama lain yang memiliki ikhtiyarot pribadi misalnya Al Qaffal Asy Syasyi, Al Qodhi Al Husain, Al Baghowi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Mereka semua tetap menjadi anggota VIP juga sebagaimana An Nawawi.

Adapun alasan beliau memilih pendapat-pendapat tersebut adalah karena kekuatan dalil yang menurut beliau mengharuskan meninggalkan Madzhab dan mengikuti dalil. Atau karena pilihan tersebut demi kemudahan umat dan orang-orang awam, khususnya ketika Madzhab menetapkan pendapat yang berat dan menyulitkan padahal dalilnya tidak shahih.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bish showab.

Rujukan: "Al Madkhol Ila Madzhabil Imam Asy Syafi'i", Fahd Abdullah Al Hubaisyi, 47-48.
Share:

Mengaku Mujtahid

Akhir zaman ini banyak Orang-orang yang belum Mumpuni ilmu Agama Islam sudah berani Menghukumi suatu masalah berdasarkan pemikiran mereka sendiri yang mereka dapatkan dari terjemahan satu-dua Hadits Nabi tanpa memandang Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Oleh para Ulama terdahulu. 



Padahal keilmuan Orang-orang pada Zaman Akhir(kurun setelah Imam Empat Madzhab) sangat jauh dibanding para ulama terdahulu, orang-orang sekarang banyak yang tidak fair dalam menggunakan hadits, semangat dalam berfatwa hanya dengan beberapa hadits tapi mengabaikan Hadits-hadits lain yang jauh lebih harus dipertimbangkan, Hafal satu dua Hadits saja sudah Berikrar Menjadi Ustadz dan berani meng bid’ah-bid’ahkan suatu golongan Mayoritas, padahal Kalau kita lihat sejarah Para Ulama Salaf, mereka Hafal ratusan ribu Hadits akan tetapi mereka tetap bermadzhab dan menhukumi masalah berdasarkan ijtihad Imam Madzhab.

Jauh-jauh Hari para Ulama sudah memperingatkan kepada Umat untuk Berhati-hati dalam menyampaikan agama Islam, salah satunya yang disampaikan dalam Kitab Bughyatul Musytarsyidin Berikut Ini:

ـ (مسألة: ك): شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى؟ فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة، وكيف أخذ هو ما يخالفها؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي: الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين: أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي: مستقل، وهذا الإمام السيوطي مع سعة اطلاعه وباعه في العلوم وتفننه بما لم يسبق إليه ادعى الاجتهاد النسبي لا الاستقلالي، فلم يسلم له وقد نافت مؤلفاته على الخمسمائة، وأما حمل الناس على مذهبه فغير جائز، وإن فرض أنه مجتهد مستقل ككل مجتهد ـ اهـ بغية المسترشدين ص ٦ المرجع الأكبر




‘’Ada orang orang yang pandai dan cerdas, banyak mempelajari kitab kitab karangan ulama salaf, baik itu tafsir, hadits, maupun ilmu fiqih, kemudian menghukumi suatu masalah dengan pendapatnya sendiri, maka orang yang seperti ini adalah orang yang sesat dan menyesatkan yang justru menjauhkan dari pokok agama yang benar dan jalan Pemimpin para Rasul yaitu Nabi Muhammad Saw.

Mereka menolak kitab kitab ulama salaf yang yang notabene adalah ahli ilmu, mereka menyuarakan tentang tidak wajibnya bermadzhab dan mengarahkan kepada pemahaman agama dari hasil ijtihadnya sendiri, mereka mengaku beristinbath(menggali Hukum) langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman sendiri, sedang mereka tidak memenuhi kriteria syarat syarat berijtihad yang sudah masyhur bagi ahli ilmu, mereka mewajibkan masyarakat untuk mengikuti hasil ijtihad mereka 
Maka untuk orang orang yang seperti diatas (yang mengaku ngaku berijtihad langsung / menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah) wajib atas mereka bertaubat dan kembali kepada jalan kebenaran (sesuai pemahaman mayoritas ulama salaf) dan masyarakat wajb menolak ajakan mereka yang bathil.

Apabila kitab-kitab karangan para ulama salaf dikesampingkan (tidak dipakai), maka dengan apa seseorang memahami agama ini yang selanjutnya dipakai untuk pedoman hidup ?
Padahal dia tidak bertemu langsung dengan Nabiyyuna Muhaamad  SAW, juga tidak bertemu dengan para Sahabat Nabi ,
Bila kebetulan dia mempunyai sesuatu kitab karangan ulama salaf lalu dia mempelajarinya sendiri, lalu dalam proses memahami kitab tersebut dia salah pemahaman , maka kepada siapa dia akan minta petunjuk untuk membenarkan pemahamannya ? Silakan jelaskan kepada kami !

Sesungguhnya kitab kitab karya para Imam Agung empat Madzhab dan para ulama yang taqlid (mengikuti) kepada mereka, Sumbernya adalah Al-Qur'an dan Sunnah,
Bagaimana proses ijtihadnya sehingga menyelisihi pendapat pendapat mereka ?
Kenapa mereka mereka yang saat ini mengaku berijtihad langsung dan kembali kepada Al-Qur'an da Sunnah menghasilkan pendapat dan pemikiran yang sangat jauh dari para Imam Madzhab  yang empat diatas ?

Berkata Al-Imam Asy-Syaikhoni dan pendahulu mereka Al-Imam Al-Fakhrur Rozi : Orang-orang  zaman sekarang ini ibarat perkumpulan banyak orang hanya saja tidak ada mujtahid di dalamnya.

Syaikh Ibnu Hajar menuqil fatwa dari sebagian para Ahli Ushuluddin: Sesungguhnya setelah kurun masa Imam Syafi'i tidak ditemukan lagi seorangpun yang mencapai derajat mujtahid mustaqil (Mujtahid yang menggali langsung Al-Qur'an da Sunnah).

Contoh terdekat , Imam As-Suyuthi yang dikenal luas ilmunya dan mengusai berbagai fan ilmu, beliau berijtihad dengan nisbi (mengikuti pendapat dari Imam Syafi'i), bukan seorang mujtahid mustaqil, kenapa beliau tidak berani ? padahal kitab kitab karangan beliau sangat banyak , tidak kurang dari 500 (lima ratus) kitab .

Sesunguhnya orang orang yang menggali hukum sendiri seperti layaknya seorang mujtahid mustaqil dan menganggap hasil ijtihad mereka benar , hal itu tidak diperbolehkan, walaupun mereka memastikan bahwa mereka adalah seorang mujtahid mustaqil, seperti layaknya mujtahid zaman dahulu’’.


Share:

Selasa, 07 November 2017

Antara Habib dan Orang Alim



بين الحبيب والعالم

ANTARA HABIB dan ORANG ALIM

يَا مَـنْ تَكَلَّمَ فِي الْحَبِيْبِ وَعَــالِمِ
وَرَأَى الْـحَبِيْبَ بِـــأَنَّهُ لَمْ يُــــكْرَمِ

Wahai orang yang berbicara tentang habib dan orang alim (kyai)
Menganggap bahwa habib tidak perlu di muliakan

اِسْـــمَعْ إِذَا مَــــا كُنْتَ ذَا عِـــلْمٍ وَذَا
أَدَبٍ وَلَسْتُ أَخَافُ خَـصْمَةَ خَـاصِمِ

Dengarkanlah, jika kamu punya ilmu dan adab
Aku tidak takut bantahan orang yang membantah

قَالُوا الْحَبِيْبُ بَنُو الْحُسَيْنِ كَذَا الْحَسَنْ
إِنِّي أُحِـــبُّـــــــهُمَا وَلَا تَــــــكُ لَائِـــــمِي

Ulama menerangkan: habib adalah keturunan Husain dan Hasan
Aku mencintai keduanya ( habib dan kyai ), jangan kau mencaciku

فَــلِعَـالِمٍ شَرَفُ الْعُــلُوْمِ إِذَا عَــمِلْ
لـِحَبِــيْبِنَا شَــرَفٌ وَإِنْ لَمْ يَـــعْــلَمِ

Orang alim punya kemuliaan ilmu, jika mengamalkan ilmunya 
Seorang habib juga punya kemuliaan meski dia tidak alim

شَــرَفُ انْـتِسَابٍ لِلرَّسُـــوْلِ الْأَكْبَرِ
فَــاقْرَأْ فَــتَاوَى لِلْإِمَــامِ الْهَــيْتَمِي

Yaitu kemuliaan bernasab sambung kepada Sang Rasul.

Bacalah kitab Fatawa Ibnu Hajar al-Haitami

وَجَــرَى خِـلَافٌ بَيْنَهُمْ مَنْ أَفْــضَلُ؟
فَاسْـمَعْ أَخِي إِنْ كُنْتَ تَـعْقِلُ أَوْ نَــمِ

Ada perbedaan antara ulama, siapa yang lebih utama ( habib atau orang alim ) ?
Dengarkanlah wahai saudaraku, 
إِنَّ الْحَـبِيْبَ وَإِنْ يُـــجَــنُّ حَــبِيْبُ
وَالْعَــالِمُ الْمَــجْنُوْنُ لَيْسَ بِـــعَــالِمِ

Sesungguhnya habib tetap habib meski dia gila Tapi seorang alim jika gila, tak lagi di sebut alim (karena ilmunya hilang)

هَــذَا قَــلِيْلٌ وَالْقَــلِيْلُ لِعَـــاقِــلٍ
يَــكْفِي وَلَا يَكْفِي الْكَثِــيْرُ لِهَـائِمِ

مَــوْلَايَ صَـــلِّ عَـــلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
وَالْآلِ وَالصَّــحْبِ الْكِــرَامِ وَسَــــلِّمِ

Ya Tuhan, bersholawat dan salamlah kepada Nabi Muhammad
Keluarga, dan sahabatnya yang mulia.

Ketika Zaid bin tsabit menaik kendaraaannya, seketika Ibnu Abbas memegang tali kekang dan menuntun nya, kata Zaid bin tsabit jangan begini lalu
Ibnu Abbas Menjawab : 
“Demikianlah kami diajarkan untuk memuliakan ulama kami”, setelah itu Zaid Bin Tsabit (seorang Faqih di zaman nya) mengambil tangan ibnu Abbas dan menciumnya, sambil berkata :
“Demikianlah kami diajarkan untuk memuliakan keluarga Nabi kami saw.

*اللّهُمّ صَلّ عَلَى سَيّدِنَا مُحَمّد وَ عَلَى آل سَيّدِنَا مُحَمّد*
Allahumma sholli 'alaa sayyidina Muhammad wa 'alaa aali sayyidina Muhammad.
Share:

CARA MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDO'A



‎و كان رضي الله عنه ينهى من رآه مفرقا بين كفيه عند رفعهما للدعاء و يأمر بجمعهما و إلصاق كل منهما بالآخر كأنه يتناول شيئا يخاف عليه أن يسقط من بين كفيه و ينزل العطاء الإلهي المعنوي.
‎(مجموع الكلام للحبيب عيدروس بن عمر الحبشي ص ٤٣٧)

Al-Habib Al-Imam Idrus bin Umar Al-Habsyi melarang seseorang yang dilihat beliau saat berdoa dia memisahkan kedua telapak tangannya saat diangkat untuk berdo'a dan beliau memerintahkan untuk mendempetkan kedua telapak tangan dan menempelkannya satu sama lain sehingga seakan-akan dia menadah sesuatu dan takut sesuatu tersebut jatuh dari kedua telapak tangan, dan jatuh pula demikian pemberian Allah yang maknawi.

Dari kitab : Majmu' kalam Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi Hal. 437.

‎يالله بالتوفيق حتى نفيق ونلحق الفريق

Mudah-mudahan kita mendapat taufiq sehingga kita bisa di golongkan dengan orang-orang sholeh...

Aamiiiiiin
Share:

Doa Agar Terhindar Dari Yang Haram

Jika kamu lakukan sesuatu yg haram, dan kamu tahu ianya haram tetapi kamu tidak dapat meninggalkannya ?

Bacalah Doa ini :

" اللهم احرمني لذة معصيتك وارزقني لذة طاعتك "

Ya Allah ya Tuhanku, Haramkanlah aku kelazatan maksiat kepadamu, dan berikanlah aku kelazatan Taat kepadamu.
Share:

Pentingnya Menyandarkan Kalam Kepada Pengucapnya



Berkata al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah:

■ “Dikatakan; Sesungguhnya termasuk daripada barakahnya ilmu adalah menyandarkan sesuatu (dari faedah ilmiyyah) kepada pengucapnya.” [Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/922]

❱ Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

■ “Maka barangsiapa hendak menukil satu ucapan dari suatu kelompok (orang), hendaknya dia menyebutkan nama pengucapnya dan penukilnya. Jika tidak demikian, maka setiap orang sanggup untuk berdusta.” [Minhaju Sunnah, 2/518]

❱ Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah:

■ “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya bukan karena adanya sanad, niscaya setiap orang akan berbicara (dalam agama) apa yang dia mau.” [Al-Majruhin, 1/181]

❱ Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah:

■ “Dan termasuk dari nasehat adalah menyandarkan faedah yang berbobot kepada pengucapnya.
(✔️) Barang siapa berbuat demikian, niscaya teberkahi usaha dan kondisi (diri)nya.
(✘) Dan barang siapa yang menyamarkannya dan menyamarkan pada apa yang dia ambil dari ucapan selainnya (agar terkesan) sebagai ucapannya, maka sudah sepantasnya untuk tidak terambil manfaat dari ilmunya dan tidak pula teberkahi dalam kondisi (diri)nya.” [Bustanul 'Arifin, 29]


[ ● ] لماذا نطالب الناس بذكر المصدر؟

[ التثبت من الأدلة وذكر المصدر ونسب الكلام إلى قائله ]

❱ قال الإمام ابن عبد البر رحمه الله:

■ { يقال إن من بركة العلم أن تضيفَ الشيء إلى قائله. } [الجامع، ٢/٩٢٢]

❱ قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله:

■ { فمن اراد ان ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل ، وإلا فكل أحد يقدر على الكذب. } [منهاج السنة، 518/2]

❱ قال ابن المبارك رحمه الله:

■ { الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال مَنْ شاء ما شاء. } [المجروحين، 1/181]

❱ قال الإمام النووي رحمه الله:

■ { ومن النّصيحة أن تضاف الفائدة الّتي تستغرب إلى قائلها، فمن فعل ذلك بورك له في علمه وحاله، ومن أوهم ذلك وأوهم فيما يأخذُ من كلام غيره أنه له، فهو جدير أن لا يُنْتفَع بعلمه، ولا يباركُ له في حاله. } [بستان العارفين، ص 29]

Share:

Adab Memperbaiki Kesalahan Kitab

Ibnu Shalah berkata:
Sebaiknya, bagi pembaca ketika menemukan kekuarangan (seperti titik) dan kesalahan dalam lafad pada kitab yanh dibaca, jangan diperbaiki atau dibenarkan di temat lafad itu. Ditakutkan, ternyata yang dianggap kurang atau salah malah sebaliknya. Akan tetapi, kalau ingin memperbaiki silahkan diletakkan di pinggiran halaman kertas tersebut dengan cara menambahkan kalimat ‘shad’ dan ‘hak’ diatas lafad yang ditulis. Kalimat perbaikannya bisa dari diri sendiri, atau menukil dari kitab lain.

Hal ini dimaksudkan agar kita tetap membiarkan orang lain membacanya dengan naskah dan teks aslinya. Tidak memutus jalan orang lain, tidak merubah pendapat orang lain, dan supaya tidak seolah-olah kita menyetir orang lain dalam memahami ilmu atau informasi tersebut.

-Syekh Ali Jum’ah

Share:

Bait-Bait yang terpampang di lemari Imam Abu Bakar Al-Qaffal



Kekasihku adalah buku yang takkan muak denganku
Meski harta menjadi sedikit dan ketampanan mulai susut
Buku sang pujaan hatiku, di kala tak ada tambatan kalbu
Kan kurayu jikalau dia memahami rayuan kalbu
Buku..teman setiaku kala duduk, yang takkan merasa jemu
Penjelas kebenaran yang tak membuatku jemu
Buku…lautan yang takkan menarik pemberiannya
Membanjiriku dengan harta, meski harta menahannya
Buku..petunjuk terbaik untuk meraih asaku
Darinya selalu ada pengalaman baru dan penerang langkahku
Share:

Beda Matan ,Syarah dan Hasyiyah



#الفرق_بين_المتن_والشرح_والحاشية_والتعليق

قبل ذكر بعض الحواشي على الشروح الأربعة لكتاب منهاج الطالبين أحببت قبل ذلك أن أوضح الفرق بين المتن والشرح والحاشية، حتى يكون الطالب على دراية وعلم، وبعد ذلك اشرع في ذكر بعض الحواشي في منشور مستقل يأتي تباعاً )إن شاء الله)...
#المتن:
وهو أصل الكتاب الذي وضعه المصنف (كمنهاج الطالبين للإمام النووي) ويكون مختصراً في الغالب، مع عبارات ذات معاني غزيرة...

#الشرح:
ويكون متأخر زمناً عن المتن، ويصنفه المصنف لتوضيح العبارات وبيان القيود، ودعم المتن بالدليل، والإستدراك والاعتراض (في بعض الأحيان) وفيه عدة طرق:
1_ أخذ قطعة من المتن ووضعها في الأعلى، ويشرح تحتها...
2_ دمج المتن في الشرح، بحيث يكون الكلام كأنه جملة واحد فلا فصل بينه...
3_ تناول الموضوع جملة واحدة، وهو الذي يسمى بالشرح الموضوعي، فمثلاً يأخذ فصل فرائض الوضوء ويتكلم عنها بالتفصيل دون تقيده بالأصل(المتن)...
ويمكن أن يستغني عن المتن عند القراءة؛ لأنه متضمن في الشرح غالباً...

#الحاشية: 
وتكون متأخرة عن الشرح من حيث الزمن، وتوضع للإستدراك على الشرح، أوزيادة في توضيحه، أو بيان شيء من القيود، أو ازالة لبس، أو يأتي بفائدة لها علاقة بعيدة...الخ، فتسمى مجازاً (بشرح الشرح) ولكن الحقيقة ليست كذلك...
وتجعل في الغالب على جهة جانب الصفحات أو أسفلها 
(ولذلك سميت حاشية) لأن الكتاب يحشا بها...
وفي الغالب لا تتناول جميع عبارات الشارح، ولكن يأخذ من الشرح ما يحتاج إلى بيانه أو التعقيب عليه، وقد يتناول في بعض الأحيان شيء من المتن، لذلك لا يمكن في الغالب أن تقرأ الحاشية دون الرجوع إلى الكتاب...

#التقريرات:
وتكون متأخرة زمناً عن الحاشية، ويصنفها المصنف في الاعتراض على الحاشية أو إزالة لبس أو استدراك عليها، وقد يتجاوز الحاشية إلى الشرح أو إلى عبارة المتن (في بعض الأحوال) ويمكن أن يطلق عليها مجازاً (شرح شرح شرح)...
#ملاحظة: في الغالب لا تنشر الحواشي والتقريرات إلا بعد موت مصنفها، لأنه يكتبها على اطراف الكتاب، لنفع نفسه، فيتلقفها طلابه أو من يحضى بها من بعده فينشرها...
والله المستعان...ش
Share:

Senin, 06 November 2017

Habib Di Anjong



Kisah pertemuan Waliyullah Teungku di Anjong (Habib Abubakar bin Husein Bilfaqih) BERJUMPA LANGSUNG dengan Rasulullah SAW di mesjid Madinah Al-Munawwarah.

Karena beliau sempurna mengamalkan kitab Bidayatul Hidayah, disebutkan dalam kitab Manhajus Sawi karangan Al-'Alamah Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith, pada halaman 259-260 sebagai berikut:

بداية الهداية، للإمام الغزالي :
قال الحبيب علي بن محمد الحبشي نفع الله به : بداية الهداية كتاب عظيم جمع العلم الظاهر والباطن، وهي بداية توصل الى النهاية، وقد اوصلت كثيرا بالعمل بها من الناس الى الإجتماع بالنبي صل الله عليه وسلم يقظة، وكان سلفنا يتعاهدون على العمل بما في "البداية"  والثلاثة الذين أقاموا بالمدينة المنورة وتعاهدوا على العمل بما في "البداية" : الحبيب عبد الرحمن بن مصطفى العيدروس والحبيب شيخ بن محمد الجفري، والحبيب أبو بكر بن حسين بلفقيه، ووفوا بالعهد حتى اجتمعوا بالنبي صل الله عليه وسلم يقظة، قال سيدنا القطب عبد الله بن علوي الحداد نفع الله به.


Tgk di Anjong sebenarnya ulama sekaligus wali, marga beliau bilfaqih krn keluarga bilfaqih sangat menguasai ilmu fiqih.
beliau mnjadi wali setelah bertemu langsung dgn nabi saw. 

sanad beliau jg tercatat didalam kitab syekh yasin alfadani, ulama yg bergelar musnid dunya.

Jadi Tgk di Anjong (hb abubakar bilfaqih) berguru kpd Allamatud dunya habib Abdurrahman bin abdullah bilfaqih, hb abdurrahman bilfaqih berguru kpd imam haddad sohibur ratib, dan terus sampai ke Rasulullah Saw.

dan teman Tgk di Anjong yg di Malabar india habib syekh aljufri berguru kpd hb Hasan bin Abdullah bin Alwi alhaddad.



salah satu karomah beliau waliyullah tgk di anjong, beliau merubah pasir menjadi perak, dan perak2 itu dikasih kpd sultan Aceh untuk bayar hutang kerajaan aceh.
Share:

SAAT MENCARI JODOH



Syaikh Najmuddin Ayyub (amir Tikrit) belum juga Menikah dalam tempo yang lama. Saudara Asaduddin Syirkuh bertanya kepadanya: “Wahai saudaraku, kenapa engkau belum juga Menikah?”

Najmuddin menjawab: “Aku belum menemukan seorang pun yang cocok untukku.”

“Maukah aku pinangkan seorang wanita untukmu?” tawar Asaduddin.

“Siapa?” Tandasnya.

“Puteri Malik Syah, anak Sulthan Muhammad bin Malik Syah Suthan Bani Saljuk atau puteri menteri Malik,” jawab asaduddin.

“Mereka semua tidak cocok untukku” tegas Najmuddin kepadanya.

Ia pun terheran, lalu kembali bertanya kepadanya: “Lantas siapa yang cocok untukmu?”

Najmuddin menjawab: “Aku menginginkan wanita shalehah yang akan menggandeng tanganku menuju jannah dan akan melahirkan seorang anak yang ia didik dengan baik hingga menjadi seorang pemuda dan ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke dalam pangkuan kaum Muslimin.”

Ini merupakan mimpinya. Asaduddin pun tak merasa heran dengan ucapan saudaranya tersebut. Ia bertanya kepadanya: “Terus dari mana engkau akan mendapatkan wanita seperti ini?”

“Barang siapa yang mengikhlaskan niatnya hanya kepada ALLOH, niscaya ALLOH akan memberikan rezeki kepadanya,” jawab Najmuddin.

Suatu hari, Najmuddin duduk bersama salah seorang syaikh di masjid di kota Tikrit berbincang-bincang. Lalu datanglah seorang pemudi memanggil syaikh tersebut dari balik tabir sehingga ia memohon izin dari Najmuddin guna berbicara dengan sang pemudi.

Najmuddin mendengar pembicaraan sang syaikh dengan si pemudi. Syaikh itu berkata kepada si pemudi: “Mengapa engkau menolak pemuda yang aku utus ke rumahmu untuk meminangmu?”

Pemudi itu menjawab: “Wahai syaikh, ia adalah sebaik-baik pemuda yang memiliki ketampanan dan kedudukan, akan tetapi ia tidak cocok untukku.”

“Lalu apa yang kamu inginkan?” Tanya syaikh.

Ia menjawab: “Tuanku asy-syaikh, aku menginginkan seorang pemuda yang akan menggandeng tanganku menuju jannah dan aku akan melahirkan seorang anak darinya yang akan menjadi seorang ksatria yang bakal mengembalikan Baitul Maqdis ke dalam pangkuan kaum muslimin.”

ALLOHU Akbar, satu ucapan yang persis dilontarkan oleh Najmuddin kepada saudaranya Asaduddin.

Ia menolak puteri Sulthan dan puteri menteri bersamaan dengan kedudukan dan kecantikan yang mereka miliki.

Demikian juga dengan sang pemudi, ia menolak pemuda yang memiliki kedudukan, ketampanan, dan harta.

Semua ini dilakukan demi apa? Keduanya mengidamkan sosok yang dapat menggandeng tangannya menuju jannah dan melahirkan seorang ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke dalam pangkuan kaum muslimin.

Bangkitlah Najmuddin seraya memanggil syaikh tersebut, “wahai Syaikh aku ingin Menikahi pemudi ini.”

“Tapi ia seorang wanita fakir dari kampung,” jawab asy-syaikh.

“Wanita ini yang saya idamkan.” tegas Najmuddin.

Maka Menikahlah Najmuddin Ayyub dengan sang pemudi. Dan dengan perbuatan, barang siapa yang mengikhlaskan niat, pasti ALLOH akan berikan rezeki atas niatnya tersebut.

Maka ALLOH mengaruniakan seorang putera kepada Najmuddin yang akan menjadi sosok ksatria yang bakal mengembalikan Baitul Maqdis ke dalam pangkuan kaum muslimin. Ketahuilah, ksatria itu adalah Shalahuddin al-Ayyubi.

Inilah harta pusaka kita dan inilah yang harus dipelajari oleh anak-anak.
Share:

Minggu, 05 November 2017

Ilmu Itu Beasiswa Dari Allah

"Al-Ilmu Minhatullah. Ilmu itu beasiswa dari Allah." Ucap syaikh Ramadhan Buthi di sebuah acara yang mengenang Badi' al-Zaman, Said Nursi. Kekuatan menghafal dan memahami merupakan anugerah terindah dari-Nya.

Syarif Sayyid, salah satu pelajar Azhar yang diberi daya ingat yang luar biasa. Dia mampu  menghafalkan Alquran dalam 3 bulan ketika masih berumur tujuh tahun. Tidak hanya itu, santri kelahiran Kairo itu juga mampu menghafalkan Shahih Bukhari-Muslim dalam waktu 40 hari! Itu ketika ia berumur 10 tahun. Dan Syarif Sayyid telah membaca enam ribu buku dari berbagai macam bidang!

Di hari santri, Bisma menunjukkan cahayanya. Seorang santri asal Kudus mampu menghafalkan Alquran, Bulughul Maram, Alfiyah dan Zurrah al-Nasihin ketika masih berumur 10 tahun!


Gus Baha', santri Mbah Maimun menyelesaikan Alquran beserta tujuh Qiraat sebelum umur dua puluh. Beliau juga menghafal Alfiyah, Fathul Mu'in, Tafsir Jalalain dan Shahih Muslim beserta sanad-sanadnya! Pernah saya mendengar langsung dari muridnya, bahwa beliau pernah tiga hari tidak keluar kamar dari saking asyiknya belajar dan menghafal. Sampai-sampai pak Quraish menyebut beliau "Seorang Mufassir yang Faqih". 

"العلم نعم المقتنى والمقتفى"
Demikian dauh Ibnu Malik.

Tapi tak semua orang diberi kemampuan menghafal dan memahami, Kang! Ada yang diberi pemahaman kuat, namun lemah dalam menghafal. Juga sebaliknya. Saya pernah diceritai kakak kelas, bahwa Imam Mahalli, guru Imam Suyuti hafalannya tidak terlalu kuat. Beliau pernah mencoba menghafal sesuatu dalam seminggu. Setelah itu, beliau sakit. Tapi, soal pemahaman jangan tanya. Beliau mensyarah Waraqat, Jam'ul Jawami dan lain-lain. Merupakan bukti kekuatan pemahaman beliau. Ada juga yang kuat hafalannya, namun lemah pemahamannya. Dr. Syahabuddin, guru kami di Bayt Alquran bercerita dulu pernah ada seorang dijuluki Himar Raudhah. Orang ini menghafal kitab Raudhah Imam Nawawi yang berjilid-jilid. Namun tidak paham. Akhirnya, ia digunakan oleh gurunya ketika hendak mengajar. Ia disuruh menyebut teks yang berada di kitab Raudhah, sedangkan sang guru menjelaskan.

Syaikh Fauzi Qanate berkata:

احفظ في كل علم ثلاثة متون : متنا للمبتدئين ، ومتنا للمتوسطين ، ومتنا للمنتهين ، فإن لم تستطع فاحفظ فيه متنين ، فإن لم تستطع فاحفظ فيه متنا ، وذلك أضعف اﻹيمان 

"Hafalkan satu matan dari saban-saban Fan Ilmu. Matan untuk tingkat pemula. Matan untuk tingkat pertengahan. Dan matan untuk tingkat atas. Kalau tidak bisa, hafalkan dua matan saja. Kalau tidak bisa, hafalkan satu matan saja. Dan itu adalah selemah-selemahnya iman. 

Saya masih terngiang-ngiang dawuh syaikh Ayyub al-Jazairi. 🤣🤣😅

لاتتزوج إلا بعد إتقان ألفية بن مالك، ومنهاج الإمام النووي، وجمع الجوامع لإمام تاج الدين 
السبكي

Buuts, 02 November 2017.
Share:

Karya dan Pemikiran Syekh Ibnu 'Atha'illah



Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktik sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abul Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abul Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah Tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa, sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Share:

Kecerdasan Imam Syafi'i

Di bawah ini adalah beberapa riwayat yang menunjukkan kecerdasan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang sangat di sanjung oleh para ulama yang lainnya.

Dari Ubaid bin Muhammad bin Khalaf Al-Bazzar, dia berkata, “Ketika Abu Tsaur ditanya tentang siapa yang lebih pandai antara Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan, maka ia menjawab bahwa Imam Asy-Syafi’i lebih pandai dari pada Muhammad, Abu Yusuf, Abu Hanifah, Hammad, Ibrahim, Al-Qamah dan Al-Aswad.

Ahmad bin Yahya memberitahukan bahwa Al-Humaidi berkata, “Aku telah mendengar dari Sayyid Al-Fuqaha’, yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”

Sedang Ar-Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Al-Humaidi dari Muslim bin Khalid, ia berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, ‘Wahai Abu Abdillah, berfatwalah. Aku bersumpah demi Allah, sesungguhnya kamu sekarang sudah berhak mengeluarkan fatwa.’ Padahal Imam Asy-Syafi’i pada saat itu baru berusia lima belas tahun.”

Dari Harmalah bin Yahya, ia berkata, “Aku telah mendengar Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang seorang suami yang berkata kepada isterinya yang pada saat itu dimulutnya terdapat sebiji kurma, ‘Jika kamu makan korma itu, maka kamu aku talak (cerai), dan apabila kamu memuntahkannya, maka kamu juga aku talak (cerai),’ maka Imam Syafi’i menjawab, ‘Makan separuh dan muntahkanlah separuhnya.’”

Al-Muzni berkata, “Ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang burung unta yang menelan mutiara milik orang lain, maka dia menjawab, ‘Aku tidak menyuruhnya untuk menelannya. Kalau pemilik mutiara ingin mengambil mutiara itu, maka sembelih dan keluarkan mutiara itu dari perutnya, lalu dia harus menebus burung unta tersebut dengan harga antara burung itu hidup dan sudah disembelih.’”

Ma’mar bin Syu’aib berkata, “Aku mendengar Amirul Mukminin Al-Makmun bertanya kepada Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia berkata, ‘Wahai Muhammad, apa illat-nya Allah menciptakan lalat?’”

Mendengar pertanyaan itu, Imam Asy-Syafi’i terdiam sesaat, lalu dia menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, lalat itu diciptakan untuk menghinakan para raja.’
Dengan seketika, Al-Makmun tertawa terbahak-bahak. Lalu ia berkata, ‘Wahai Muhammad, aku telah melihat lalat jatuh ketika ada di pipiku.’ Sehingga Imam Asy-Syafi’i membalasnya dengan berkata, ‘Benar tuanku. Sebenarnya ketika tuanku menanyakan hal tersebut kepadaku, aku tidak mempunyai jawabannya. Ketika aku melihat lalat itu jatuh tanpa ada suatu sebab dari pipi tuanku tersebut, maka aku baru menemukan jawabannya.’”
Kemudian Al-Makmun berkata, ‘Wahai Muhammad, segalanya adalah kekuasaan Allah.’”

Ibrahim bin Abi Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ibnu Rahawaih, maka dia menjawab, ‘Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling cerdas di antara mereka semua.’”

Ar-Rabi’ berkata, “Pada suatu hari ketika aku sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, seseorang datang dan bertanya, ‘Wahai guru, apa pendapatmu tentang orang yang sedang bersumpah, ‘Apabila dalam sakuku terdapat ‘banyak uang dirham’ lebih dari tiga dirham, maka budakku merdeka. ‘Sedangkan dalam saku orang yang bersumpah tesebut hanya terdapat uang sebanyak empat dirham saja. Apakah orang itu harus memerdekakan budaknya?’ maka dia menjawab, ‘Ia tidak wajib memerdekakan budaknya.’”

Ketika penanya minta penjelasan lebih lanjut, maka Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Orang tersebut telah mengecualikan sumpahnya dengan ‘banyak dirham’, sedangkan empat dirham itu mempunyai kelebihan satu dari tiga dirham yang disumpahkan. Satu dirham bukanlah ‘banyak dirham’ sebagaimana yang dimaksudkan dalam sumpahnya.’

Mendengar penjelasan ini, maka penanya kemudian berkata, ‘Aku beriman kepada Zat yang telah memberikan ilmu melalui lisanmu.’”

Sumber: Dinukil dari kitab Min A’lamis Salaf karya, Syaikh Ahmad Farid

Share:

Kategori Artikel