Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Jumat, 19 Maret 2021

Kejadian Penting Dibulan Sya’ban




Sayyid Muhammad dalam kitab Madza fi Sya’ban menjelaskan, pada bulan Sya’ban terjadi beberapa peristiwa penting. 


1- Di antara peristiwa tersebut ialah peralihan arah kiblat umat muslim yang semula menghadap ke Baitul Maqdis berubah ke arah Ka’bah.


Apa sebab arah kiblat diganti? Mari kita simak penjelasan Al-Razi dalam Tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan Mafatih al-Ghaib. 


Nabi Muhammad berpandangan bahwa Baitul Maqdis merupakan kiblat orang-orang Yahudi. Nabi pun meminta malaikat Jibril untuk menyampaikan maksudnya kepada Allah swt agar arah kiblat diganti ke arah Ka’bah saja. 


“Wahai Jibril, aku lebih senang jika Allah memalingkanku dari kiblat orang Yahudi. Aku tidak menyukai arah kiblat mereka,” pinta Rasulullah. Jibril menjawab, “Aku pun hamba sepertimu. Akan saya mintakan hal itu untukmu.”


Sembari menunggu hasil negoisasi Jibril, Rasulullah menengadahkan wajahnya ke arah langit, menanti Jibril membawa jawaban setelah menemui Rabb-nya. Jibril kemudian turun dengan membawa wahyu yang memerintahkan agar arah kiblat diganti ke arah Ka’bah. Permintaan Nabi Muhammad saw dikabulkan. Wahyu itu adalah ayat berikut


 قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَأُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ


Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. 

Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

(Al Baqarah 2:144) 


Mengapa Rasulullah saw tidak menyukai jika arah kiblat orang Muslim sama dengan orang Yahudi?


Syekh Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib melanjutkan


الأولأن اليهود كانوا يقولونإنه يخالفنا ثم إنه يتبع قبلتنا ولولا نحن لم يدر أين يستقبل ، فعند ذلك كره أن يتوجه إلى قبلتهم .  

الثانيأن الكعبة كانت قبلة إبراهيم .  

الثالثأنه عليه السلام كان يقدر أن يصير ذلك سبباً لاستمالة العرب ولدخولهم في الإسلام .  

الرابعأنه عليه السلام أحب أن يحصل هذا الشرف للمسجد الذي في بلدته ومنشئه لا في مسجد آخر


Pertama, dulu orang-orang Yahudi berkata, “Muhammad sebelumnya berbeda (arah kiblat) dengan kita, lalu ia mengikuti kami. Andai saja tidak ada kami, pasti ia tidak tahu akan menghadap ke arah kiblat yang mana.” 


Kedua, Ka’bah merupakan kiblat bagi Nabi Ibrahim. 


Ketiga, menurut Rasulullah, jika arah kiblat ke arah Ka’bah, hal ini bisa menyentuh hati orang-orang Arab. Sehingga mereka mau masuk Islam. 


Keempat, kiblat Rasulullah saw menginginkan kemuliaan untuk masjid yang ada di kota beliau, kota kelahiran baginda.

 (Litah Tafsir al-Kabir, juz 4, hlm 121) 


Secara detail, pergantian kiblat terjadi pada hari Selasa di pertengahan bulan Sya’ban. 


Abu Hatim al-Basti mengatakan, 


صلى المسلمون إلى بيت المقدس سبعة عشر شهرة وثلاثة أيام سواء، وذلك أن قدومه المدينة كان يوم الاثنين لاثنتي عشرة ليلة خلت من شهرربيع الأول، وأمره الله عز وجل باستقبال الكعبة يوم الثلاثاء للنصف من شعبان 


Orang muslim pernah shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan tiga hari. Hal ini berdasarkan perhitungan Rasulullah saw tiba di Madinah pada Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul awwal. Kemudian Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk menggati arah kiblat ke Ka’bah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban.” (lihat Madza fi Sya’ban, hlm. 10)


Hikmah Pergantian Arah Kiblat Setiap apa yang Allah ubah (naskh) pasti memiliki hikmah di baliknya. Termasuk diubahnya arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina, berubah ke arah Ka’bah di Kota Mekah. Lantas, apa hikmahnya? 


Menurut para mufassirin (ulama pakar tafsir), mengatakan bahwa hikmah perubahan arah kiblat diantaranya adalah sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Siapa orang yang betul-betul beriman dan sebaliknya. 


Bagi mereka yang betul-betul beriman, instruksi ini langsung mereka patuhi. Tanpa komentar atau pun kritikan. Tapi, bagi mereka yang imannya masih lemah, akan meragukan dan mengira Nabi saw tidak konsisten dengan pendiriannya. Mereka juga sedikit keberatan begitu kiblat diubah.   


Pasalnya, sudah sekian lama menghadap Baitul Maqdis, rasanya berat meninggalkan sesuatu yang sudah terbiasa. Istilah anak zaman now-nya ‘gagal move on’. 


Terkait hal ini,Allah swt berfirman, 


وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ 


 “Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.” 

(QS. Al-Baqarah [2]: 143)


2- Bulan Diangkatnya Amal Perbuatan Seorang Hamba


Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. 


Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW.

“Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” 

Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” 


Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. 


Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. 


Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu. 



3. Penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56. 


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


 Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi,

Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” 


Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat. Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. 


Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah



4- Malam Nisfu syakban


Ada beberapa hadits tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban.

 Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: 


إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَارواه أبو دود 


Maknanya: “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka shalatlah (sunnah) pada malam harinya (malam lima belas) dan berpuasalah (sunnah) pada siang harinya (hari kelima belas)” (HR. Ibnu Majah) 


Meskipun hadits ini berstatus dla’if, akan tetapi para ulama menyatakan bahwa hadits dla’if boleh diamalkan pada anjuran melakukan keutamaan amal perbuatan dan hadits itu masuk dalam keumuman dalil syara’ yang dapat dipedomani. 

Apalagi Imam Ibnu Hibban menyatakan kesahihan sebagian hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Di antara hadits yang beliau nilai sahih adalah: 

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍرَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ والطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ 


Maknanya: “Allah merahmati para hamba-Nya di malam Nishfu Sya’ban, maka Ia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang yang musyrik dan seorang muslim yang ada permusuhan, kedengkian dan kebencian terhadap muslim lain karena urusan duniawi” 

(HR. Ibnu Hibban, At-Thabarani dan Al-Baihaqi)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kategori Artikel