Di waktu menimba ilmu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berteman dengan dua orang yang bisa dibilang cukup cerdas dan pandai yaitu Ibnu Saqa dan Ibnu Abi `Asrun.
Pertemanan itu berlanjut hingga mereka bertiga ingin mengunjungi seorang wali berpangkat wali al-ghouts, rumah wali tersebut cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan pelosok banget.
Tapi, keinginan mereka untuk bertemu sang wali tidak terhalang walau jarak yang demikian jauh dan sudah barang tentu kunjungan mereka tak lepas dari maksud dan tujuan.
Dalam perjalanan, mereka saling bertanya satu sama lain terkait tujuan dan niat masing-masing. Dengan polosnya Ibnu Abi `Usrun memulai pertanyaan kepada Ibnu Saqa. “Hei Saqa, kamu mau ngapain bertemu wali itu?” “Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu sulit, hingga ia bingung dan tidak mampu untuk menjawabnya, ha.. ha.. Aku ini kan orang cerdas, jadi, sudah sepatutnya menguji kedalaman ilmu seorang wali,” jawabnya. Tak menunggu lama Ibnu Abi `Asrun pun mengatakan maksudnya.
Kalau aku ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu untuk menjawabnya,” tuturnya.
Pada hakikatnya tujuan dari keduanya sama yakni ingin menguji ketinggian ilmu dari seorang wali. Mungkin karena Syekh Abdul Qadir Al-iJailani tidak segera mengutarakan niatnya, akhirnya mereka berdua bertanya. “Qadir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami atau ada hal lain?” “Saya tidak mau bertanya apa-apa?” jawabnya. Lalu mereka pun bertanya lagi.
“Lho, terus kamu ini mau apa? Hanya mau mengikuti kami?” “Saya itu gak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap berkah darinya. Itu saja cukup kok, karena orang seperti ini biasanya hanya disibukkan dengan kekasihnya yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dari dialog mereka, kita sudah bisa melihat sifat dan sikap mereka terhadap kekasih Allah SWT.
Kesombongan dan rendah diri manusia, juga bisa diukur dengan sebuah perkataan. Kesombongan terhadap orang lain terjadi ketika kita memposisikan diri kita lebih tinggi atau lebih hebat daripada orang lain. Sementara, orang yang rendah hati tetap memposisikan dirinya sebagai penerima anugrah ilahi yang tidak sempurna dan lemah. Dia merasa memperoleh segala sesuatunya karena karunia Allah bukan karena kegagahan dan kehebatannya. Sesampainya di kediaman wali al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya.
Tapi, sang wali tak kunjung membuka pintu, malahan ia memperlambat jalannya. Kemudian, wali tersebut keluar dalam keadaan marah seraya bertanya. “Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?” “Saya, wahai Syekh,” jawab Ibnu Saqa. Tak banyak bicara, wali itu pun langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun dan langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya.
Sebelum mereka berdua beranjak dari kediamannya, wali itu meng-kasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karamahnya. “Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.”
Sampai pada giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali al-ghouts hanya memandang sekujur tubuhnya, dan tak lama kemudian, ia pun berkata. “Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan insyaallah tujuan baikmu akan tercapai.”
Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihat kamu berkata padaku, ‘kakiku ini berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!”
Selang beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya dan diperintahkan untuk pergi menemui ulama Nasrani agar ia berdebat dengan para ulama pentolan-pentolan Nasrani.
Dalam perjalanan menuju ulama Nasrani, ia bertemu dengan seorang gadis cantik keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka berdua tidak direstui. Tanpa pikir panjang akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampakan bahwa dia sungguh mencintainya dan siap berkorban apa pun.
Akhirnya terbukti perkataan wali al-ghouts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya dan benar, ia telah menggadaikan agamanya dengan agama Nasrani.
Sedangkan Ibnu Abi `Asrun, diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta wakaf dan sedekah dan jabatan itu datang terus menerus dari seluruh penjuru kota tersebut. Kemudian dia sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts.
Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT berkat sikap rendah dirinya kepada seorang wali dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi. Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts, “kakiku ini berada di atas lehernya seluruh para wali,” dan perkataannya didengar oleh seluruh wali di penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.”
Ada sedikit hikmah yang bisa kita ambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa siapa pun kita tidaklah pantas mengedepankan kelebihan karena di atas langit masih ada langit. Sikap rendah diri haruslah menjadi prioritas utama setiap manusia, mengingat ilmu tidak lebih diutamakan daripada akhlak.
Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad Alwi Al- Maliki, “Al-Adab qabla al-`Ilmi (adab lebih didahulukan daripada ilmu).” Wallahu a’lamu bish-shawab.
Dikutip dari Kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018) karya Habib Ali Hasan Baharun merupakan bunga rampai dari perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim bin Smith.
Kitab tersebut berisi tentang wejangan-wejangan para ulama, wali, habaib, dan termasuk kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam perjalanannya memperoleh gelar sulthanul auliya (raja dari seluruh para wali).
Hilmi Ridho, santri Ma`had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo Jl. KHR. Syamsul Arifin, Sukorejo, Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Email: hilmikamila241@gmail.com