Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Rabu, 24 Maret 2021

Kisah Syeh Abdul Qadir Jailani dengan Dua Ulama

 

Di waktu menimba ilmu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berteman dengan dua orang yang bisa dibilang cukup cerdas dan pandai yaitu Ibnu Saqa dan Ibnu Abi `Asrun. 


Pertemanan itu berlanjut hingga mereka bertiga ingin mengunjungi seorang wali berpangkat wali al-ghouts, rumah wali tersebut cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan pelosok banget. 

Tapi, keinginan mereka untuk bertemu sang wali tidak terhalang walau jarak yang demikian jauh dan sudah barang tentu kunjungan mereka tak lepas dari maksud dan tujuan. 


Dalam perjalanan, mereka saling bertanya satu sama lain terkait tujuan dan niat masing-masing. Dengan polosnya Ibnu Abi `Usrun memulai pertanyaan kepada Ibnu Saqa. “Hei Saqa, kamu mau ngapain bertemu wali itu?”  “Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu sulit, hingga ia bingung dan tidak mampu untuk menjawabnya, ha.. ha.. Aku ini kan orang cerdas, jadi, sudah sepatutnya menguji kedalaman ilmu seorang wali,” jawabnya.  Tak menunggu lama Ibnu Abi `Asrun pun mengatakan maksudnya. 


Kalau aku ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu untuk menjawabnya,” tuturnya.


Pada hakikatnya tujuan dari keduanya sama yakni ingin menguji ketinggian ilmu dari seorang wali. Mungkin karena Syekh Abdul Qadir Al-iJailani tidak segera mengutarakan niatnya, akhirnya mereka berdua bertanya. “Qadir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami atau ada hal lain?”  “Saya tidak mau bertanya apa-apa?” jawabnya.  Lalu mereka pun bertanya lagi. 


“Lho, terus kamu ini mau apa? Hanya mau mengikuti kami?”  “Saya itu gak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap berkah darinya. Itu saja cukup kok, karena orang seperti ini biasanya hanya disibukkan dengan kekasihnya yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dari dialog mereka, kita sudah bisa melihat sifat dan sikap mereka terhadap kekasih Allah SWT.


Kesombongan dan rendah diri manusia, juga bisa diukur dengan sebuah perkataan. Kesombongan terhadap orang lain terjadi ketika kita memposisikan diri kita lebih tinggi atau lebih hebat daripada orang lain. Sementara, orang yang rendah hati tetap memposisikan dirinya sebagai penerima anugrah ilahi yang tidak sempurna dan lemah. Dia merasa memperoleh segala sesuatunya karena karunia Allah bukan karena kegagahan dan kehebatannya. Sesampainya di kediaman wali al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya. 


Tapi, sang wali tak kunjung membuka pintu, malahan ia memperlambat jalannya. Kemudian, wali tersebut keluar dalam keadaan marah seraya bertanya.  “Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?”  “Saya, wahai Syekh,” jawab Ibnu Saqa.  Tak banyak bicara, wali itu pun langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun dan langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya. 


Sebelum mereka berdua beranjak dari kediamannya, wali itu  meng-kasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karamahnya.  “Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.” 


Sampai pada giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali al-ghouts hanya memandang sekujur tubuhnya, dan tak lama kemudian, ia pun berkata. “Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan insyaallah tujuan baikmu akan tercapai.” 


Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihat kamu berkata padaku, ‘kakiku ini berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!” 


Selang beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya dan diperintahkan untuk pergi menemui ulama Nasrani agar ia berdebat dengan para ulama pentolan-pentolan Nasrani.


Dalam perjalanan menuju ulama Nasrani, ia bertemu dengan seorang gadis cantik keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka berdua tidak direstui. Tanpa pikir panjang akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampakan bahwa dia sungguh mencintainya dan siap berkorban apa pun.  


Akhirnya terbukti perkataan wali al-ghouts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya dan benar, ia telah menggadaikan agamanya dengan agama Nasrani.  


Sedangkan Ibnu Abi `Asrun, diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta wakaf dan sedekah dan jabatan itu datang terus menerus dari seluruh penjuru kota tersebut. Kemudian dia sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts.  


Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT berkat sikap rendah dirinya kepada seorang wali dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi.  Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts, “kakiku ini berada di atas lehernya seluruh para wali,” dan perkataannya didengar oleh seluruh wali di penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.” 


Ada sedikit hikmah yang bisa kita ambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa siapa pun kita tidaklah pantas mengedepankan kelebihan karena di atas langit masih ada langit. Sikap rendah diri haruslah menjadi prioritas utama setiap manusia, mengingat ilmu tidak lebih diutamakan daripada akhlak.


Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad Alwi Al- Maliki, “Al-Adab qabla al-`Ilmi (adab lebih didahulukan daripada ilmu).” Wallahu a’lamu bish-shawab.     


Dikutip dari Kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018) karya Habib Ali Hasan Baharun merupakan bunga rampai dari perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. 


Kitab tersebut berisi tentang wejangan-wejangan para ulama, wali, habaib, dan termasuk kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam perjalanannya memperoleh gelar sulthanul auliya (raja dari seluruh para wali). 


Hilmi Ridho, santri Ma`had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo Jl. KHR. Syamsul Arifin, Sukorejo, Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Email: hilmikamila241@gmail.com


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/110340/asal-mula-gelar--raja-para-wali--untuk-syekh-abdul-qadir-al-jailani

Share:

Jumat, 19 Maret 2021

Kejadian Penting Dibulan Sya’ban




Sayyid Muhammad dalam kitab Madza fi Sya’ban menjelaskan, pada bulan Sya’ban terjadi beberapa peristiwa penting. 


1- Di antara peristiwa tersebut ialah peralihan arah kiblat umat muslim yang semula menghadap ke Baitul Maqdis berubah ke arah Ka’bah.


Apa sebab arah kiblat diganti? Mari kita simak penjelasan Al-Razi dalam Tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan Mafatih al-Ghaib. 


Nabi Muhammad berpandangan bahwa Baitul Maqdis merupakan kiblat orang-orang Yahudi. Nabi pun meminta malaikat Jibril untuk menyampaikan maksudnya kepada Allah swt agar arah kiblat diganti ke arah Ka’bah saja. 


“Wahai Jibril, aku lebih senang jika Allah memalingkanku dari kiblat orang Yahudi. Aku tidak menyukai arah kiblat mereka,” pinta Rasulullah. Jibril menjawab, “Aku pun hamba sepertimu. Akan saya mintakan hal itu untukmu.”


Sembari menunggu hasil negoisasi Jibril, Rasulullah menengadahkan wajahnya ke arah langit, menanti Jibril membawa jawaban setelah menemui Rabb-nya. Jibril kemudian turun dengan membawa wahyu yang memerintahkan agar arah kiblat diganti ke arah Ka’bah. Permintaan Nabi Muhammad saw dikabulkan. Wahyu itu adalah ayat berikut


 قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَأُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ


Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. 

Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

(Al Baqarah 2:144) 


Mengapa Rasulullah saw tidak menyukai jika arah kiblat orang Muslim sama dengan orang Yahudi?


Syekh Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib melanjutkan


الأولأن اليهود كانوا يقولونإنه يخالفنا ثم إنه يتبع قبلتنا ولولا نحن لم يدر أين يستقبل ، فعند ذلك كره أن يتوجه إلى قبلتهم .  

الثانيأن الكعبة كانت قبلة إبراهيم .  

الثالثأنه عليه السلام كان يقدر أن يصير ذلك سبباً لاستمالة العرب ولدخولهم في الإسلام .  

الرابعأنه عليه السلام أحب أن يحصل هذا الشرف للمسجد الذي في بلدته ومنشئه لا في مسجد آخر


Pertama, dulu orang-orang Yahudi berkata, “Muhammad sebelumnya berbeda (arah kiblat) dengan kita, lalu ia mengikuti kami. Andai saja tidak ada kami, pasti ia tidak tahu akan menghadap ke arah kiblat yang mana.” 


Kedua, Ka’bah merupakan kiblat bagi Nabi Ibrahim. 


Ketiga, menurut Rasulullah, jika arah kiblat ke arah Ka’bah, hal ini bisa menyentuh hati orang-orang Arab. Sehingga mereka mau masuk Islam. 


Keempat, kiblat Rasulullah saw menginginkan kemuliaan untuk masjid yang ada di kota beliau, kota kelahiran baginda.

 (Litah Tafsir al-Kabir, juz 4, hlm 121) 


Secara detail, pergantian kiblat terjadi pada hari Selasa di pertengahan bulan Sya’ban. 


Abu Hatim al-Basti mengatakan, 


صلى المسلمون إلى بيت المقدس سبعة عشر شهرة وثلاثة أيام سواء، وذلك أن قدومه المدينة كان يوم الاثنين لاثنتي عشرة ليلة خلت من شهرربيع الأول، وأمره الله عز وجل باستقبال الكعبة يوم الثلاثاء للنصف من شعبان 


Orang muslim pernah shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan tiga hari. Hal ini berdasarkan perhitungan Rasulullah saw tiba di Madinah pada Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul awwal. Kemudian Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk menggati arah kiblat ke Ka’bah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban.” (lihat Madza fi Sya’ban, hlm. 10)


Hikmah Pergantian Arah Kiblat Setiap apa yang Allah ubah (naskh) pasti memiliki hikmah di baliknya. Termasuk diubahnya arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina, berubah ke arah Ka’bah di Kota Mekah. Lantas, apa hikmahnya? 


Menurut para mufassirin (ulama pakar tafsir), mengatakan bahwa hikmah perubahan arah kiblat diantaranya adalah sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Siapa orang yang betul-betul beriman dan sebaliknya. 


Bagi mereka yang betul-betul beriman, instruksi ini langsung mereka patuhi. Tanpa komentar atau pun kritikan. Tapi, bagi mereka yang imannya masih lemah, akan meragukan dan mengira Nabi saw tidak konsisten dengan pendiriannya. Mereka juga sedikit keberatan begitu kiblat diubah.   


Pasalnya, sudah sekian lama menghadap Baitul Maqdis, rasanya berat meninggalkan sesuatu yang sudah terbiasa. Istilah anak zaman now-nya ‘gagal move on’. 


Terkait hal ini,Allah swt berfirman, 


وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ 


 “Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.” 

(QS. Al-Baqarah [2]: 143)


2- Bulan Diangkatnya Amal Perbuatan Seorang Hamba


Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. 


Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW.

“Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” 

Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” 


Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. 


Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. 


Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu. 



3. Penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56. 


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


 Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi,

Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” 


Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat. Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. 


Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah



4- Malam Nisfu syakban


Ada beberapa hadits tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban.

 Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: 


إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَارواه أبو دود 


Maknanya: “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka shalatlah (sunnah) pada malam harinya (malam lima belas) dan berpuasalah (sunnah) pada siang harinya (hari kelima belas)” (HR. Ibnu Majah) 


Meskipun hadits ini berstatus dla’if, akan tetapi para ulama menyatakan bahwa hadits dla’if boleh diamalkan pada anjuran melakukan keutamaan amal perbuatan dan hadits itu masuk dalam keumuman dalil syara’ yang dapat dipedomani. 

Apalagi Imam Ibnu Hibban menyatakan kesahihan sebagian hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Di antara hadits yang beliau nilai sahih adalah: 

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍرَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ والطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ 


Maknanya: “Allah merahmati para hamba-Nya di malam Nishfu Sya’ban, maka Ia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang yang musyrik dan seorang muslim yang ada permusuhan, kedengkian dan kebencian terhadap muslim lain karena urusan duniawi” 

(HR. Ibnu Hibban, At-Thabarani dan Al-Baihaqi)

Share:

Selasa, 16 Maret 2021

ADA APA DI BULAN SYA'BAN ?

1. Perubahan Arah Kiblat

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa peristiwa perubahan arah kiblat terjadi pada bulan Syaban tepatnya pada tanggal ketiga belasnya. Abu Hatim Al-Bustiy berkata :


"Kaum muslimin melaksanakan salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 17 bulan lebih tiga hari, kemudian ALLAH SWT memerintahkan Nabi untuk sholat menghadap ke Kabah pada hari ketiga belas pertengahan bulan Syaban."



2. Bulan Diangkatnya Amal Perbuatan Seorang Hamba


Imam Nasai meriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mengapa aku melihat engkau berpuasa pada bulan Syaban tidak seperti yang engkau lakukan ketika berpuasa pada bulan-bulan yang lain?’ kemudian Rasul menjawab, “Pada bulan inilah, orang-orang banyak tidak menyadarinya yaitu bulan yang terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan, pada bulan itulah amal-amal dihaturkan dan dilaporkan kepada Tuhan alam semesta. Oleh karenanya, aku ingin agar ketika amalku dipersembahkan kepada-Nya aku sedang berpuasa.”


Dari riwayat tersebut, terdapat kandungan hikmah dan petunjuk kepada kita bahwa bulan Syaban adalah saatnya amal kita dilaporkan kepada ALLAH SWT. Secara psikologis ketika amal itu dilaporkan sementara kita dalam keadaan berpuasa, akan member pengaruh positif terhadap hasil laporan tersebut, atau bisa jadi semua amal kita akan dihitung sebagai amal baik. Karenanya, puasa di bulan ini sebagaimana anjuran pada riwayat di atas memiliki nilai psikologis yang tinggi, selain tentunya kita mengamalkan salah satu sunnah Nabi Muhamad SAW.


Adapun riwayat lain yang menerangkan bahwa amal seseorang dilaporkan pada setiap hari Senin dan Kamis, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud setoran setiap Senin dan Kamis adalah setoran khusus untuk menguji kualitas amal serta kelengkapan syarat dan rukunnya.


Sedangkan maksud sabda Nabi, “Pada bulan inilah, orang-orang banyak tidak menyadarinya,” adalah secara umum banyak umat yang memberikan perhatian lebih kepada bulan Rajab dengan segala kemuliaannya. Ketika bulan itu telah berlalu dan memasuki bulan Syaban, mereka menganggap tidak mendapatkan lagi kesempatan yang istimewa sehingga melalaikan ibadahnya karena bosan atau putus asa. Inilah yang diingatkan oleh Rasul SAW agar kita tidak terlena dan kendor semangat dalam menyambut dan mengisi bulan Syaban, karena bulan ini tidak kalah istimewanya dengan bulan sebelumnya.


Sedangkan riwayat tentang setoran amal pada setiap hari adalah amal-amal kita disetorkan tanpa dipilih dan diukur kualitasnya, dan ALLAH Maha Mengetahui atas segala sesuatu.



3. Melaksanakan Puasa Sunnah Bulan Syaban


Sayidah Aisyah Rha berkata :


“Tidak pernah Nabi SAW berpuasa pada suatu bulan lebih banyak dari bulan Syaban, karena pada bulan tersebut beliau berpuasa sebulan penuh. Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah kebajikan sekuat yang kausanggupi, karena ALLAH tidak akan bosan sehingga kalian bosan sendiri.”

(HR. Bukhari-Muslim).


Maksud sabda Nabi, “Sekuat yang kausanggupi,” adalah dalam melakukan ibadah hendaknya dilakukan dengan penuh semangat, motivasi tinggi, dan harapan kepada ALLAH, karena yang demikian akan menghilangkan kebosanan, kejemuan, dan keputusasaan. Semua sifat-sifat negatif itu jika menyertai ibadah seseorang akan menjadi benalu yang merusak pahalanya.


Berikutnya, maksud sabda Nabi, “karena ALLAH tidak akan bosan sehingga kalian bosan sendiri,” adalah bahwa ALLAH SWT tidak akan lelah atau menghentikan dalam memberi pahala bagi hamba-Nya yang beribadah. ALLAH juga akan selalu melipatgandakan pahala, selama hamba-Nya tekun dan semangat beribadah. Sebaliknya, ketika kita dihinggapi rasa bosan, malas, dan putus asa dalam beribadah, maka Allah pun akan mengurangi atau bahkan menghentikan pahala-Nya. Karena, mereka telah menghilangkan kesinambungan dalam beribadah.



4. Bulan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW


Disebut demikian karena menurut sebagaian ulama, salah satunya, Imam Al-Qusthulani dalam kitab Al-Mawaahib Al-Ladunniyyah bahwa ayat yang berisi perintah kepada kaum beriman untuk membaca shalawat, turun di bulan Sya`ban.


5. Bulan Yang Memiliki keutamaan Yang Besar.


Satu kebaikan di bulan-bulan yang lain mendapat 10x lipat. Pada bulan Rajab 70x lipat, bulan Sya’ban 700x lipat dan bulan Ramadhan 1000x lipat. Bulan Rajab bagaikan anginnya, bulan Sya’ban bagaikan awannya, sedangkan Ramadhan bagaikan hujannya.


Bulan Rajab khusus untuk mendapat ampunan ALLAH, bulan Sya’ban khusus untuk mendapat syafa’at sedangkan bulan Ramadhan khusus untuk mendapat kebaikan yang berlipat.


Hitungan tahun merupakan pohonnya, bulan Rajab merupakan hari-hari tumbuhnya daun, bulan Sya’ban merupakan hari berbuahnya sedangkan bulan Ramadhan merupakan hari-hari memetiknya.


Rajab adalah bulan membersihkan badan, Sya’ban adalah bulan membersihkan hati dan Ramadhan adalah bulan membersihkan Ruh.



ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻷﻣﻲ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ كثيرا



Ya ALLAH.. limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Besar Muhammad, sang cahayaMu yang selalu bersinar dan pemberian-Mu yang tak kunjung putus, dan kumpulkanlah

aku dengan Rasulullah di setiap zaman, serta shalawat untuk keluarganya dan sahabatnya, wahai sang Cahaya.

Share:

Jumat, 12 Maret 2021

Benarkah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari Mantan Ulama Mu’tazilah?

Selama ini terdapat sebuah pertanyaan besar di hati umat Islam khususnya penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, “Benarkah Imam Abu Hasan al-Asy’ari selaku pembesar mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah pernah menjadi bagian dari golongan ulama Mu’tazilah?”   


Dalam hal ini, Dr Jamal Farouq ad-Daqqad selaku dekan fakultas dakwah Universitas al-Azhar yang juga salah satu ulama negara Mesir yang getol membela paham Aswaja menolak hal ini. Dalam salah satu kajian Aswaja yang digelar di kota Kairo, Jamal Farouq menyatakan keraguannya atas beberapa sumber sejarah yang menyatakan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama sekte Mu'tazilah selama 40 tahun.


 Dr. Jamal Farouq ad-Daqqaq menyebutkan secara logika akal ada tiga pertanyaan besar untuk melemahkan tuduhan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi pembesar ulama sekte Mu'tazilah, yaitu:   


Pertama, seandainya kita membenarkan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama yang mengajarkan paham Mu'tazilah selama 40 tahun di kota Bashrah bersama ayah tiri beliau yang bernama Syekh Ali al-Juba’i, maka di sini kita harus bertanya “Siapakah ulama Mu'tazilah yang pernah belajar ajaran Mu'tazilah di bawah asuhan Imam Abu Hasan al-Asy’ari?”   


Sejarah menyebutkan bahwa kota Bashrah adalah salah satu pusat kajian keilmuan umat Islam di masa lalu. Sehingga, sangat aneh bila tidak ada satu pun ulama sekte Mu'tazilah di kota Bashrah yang menyebut Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai guru mereka dalam memahami paham Mu'tazilah. 


Setidaknya, seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi guru besar sekte Mu'tazilah niscaya akan ada beberapa ulama Mu'tazilah yang mengakui Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai guru sekte Mu'tazilah dalam karya tulis mereka. Bahkan, sangat mungkin para ulama Mu'tazilah memuji Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam karya-karya mereka sebagai guru besar sekte Mu'tazilah.   Pada kenyataannya, tidak ada satu pun ulama Mu'tazilah yang menyatakan pernah belajar ajaran Mu'tazilah kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari.   


Kedua, seandainya kita membenarkan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi ulama yang membela paham Mu'tazilah, maka di sini kita harus bertanya, “Adakah buah pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam paham Mu'tazilah yang diabadikan dalam khazanah pemikiran sekte Mu'tazilah?”   


 Sejarah menyebutkan bahwa setiap pemikiran para ulama besar di masa lalu pasti terekam dalam karya tulis. Setidaknya setiap pemikiran seorang ulama besar akan dinukil oleh murid-muridnya ataupun sejawatnya dalam karya tulis mereka. Di sisi lain, sangat mungkin seorang ulama akan mengabadikan pemikirannya dalam wujud karya tulis dan hal ini tentu dapat dilacak oleh sejarah. 


Sebagaimana kita tahu Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i pernah menuliskan pendapat lama beliau (qaul qadim) dalam kitab ar-Risalah. Dan meskipun pendapat lama ini beliau tinggalkan tetap saja sejarah dapat melacak pendapat lama yang beliau tinggalkan karena ada sumber tulisan murid-murid imam Syafi’i yang merekam hal tersebut.   


Pada kenyataannya, Imam Abu Hasan al-Asy’ari tidak memiliki satupun buah pemikiran dalam sekte Mu'tazilah yang terekam sejarah. Sehingga, sungguh aneh seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari diyakini pernah menjadi pembesar ulama Mu'tazilah tanpa satu pun buah karya pemikiran ataupun pendapat yang dinukil oleh para ulama Mu'tazilah yang sezaman dengan beliau.   


Ketiga, seandainya Imam Abu Hasan al-Asy’ari pernah menjadi pembesar ulama Mu'tazilah niscaya rekam jejak beliau akan tercatat dalam kitab kumpulan biografi ulama Mu'tazilah. Kita tahu bahwa dalam kitab kumpulan biografi seperti kitab Thabaqat al-Mu’tazilah karya Ahmad bin Yahya bin al-Murtadhq di sana banyak tercatat biografi para ulama Mu'tazilah di masa lalu. 


 Kita melihat tokoh yang sezaman dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari seperti Ibnu Rawandi (w. 936 M), mantan ulama Mu'tazilah yang beralih menjadi ateis sekalipun juga tercatat pemikiran dan rekam hidupnya dalam kitab-kitab ulama Mu'tazilah. Maka sungguh aneh bila Imam Abu Hasan al-Asy’ari, seorang tokoh Aswaja yang disebutkan pernah menjadi ulama besar sekte Mu'tazilah tidak pernah sekali pun terekam dalam kitab-kitab kumpulan biografi ulama Mu'tazilah.   


Walhasil, Dr Jamal Farouq ad-Daqqad menegaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah salah satu ulama Aswaja yang murni dan tidak sedikit pun tercemari oleh pemikiran Mu'tazilah. Hal ini dibuktikan dengan masa kecil Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang diasuh langsung oleh Syekh Zakaria as-Saji, seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah.   


Adanya Imam Abu Hasan al-Asy’ari bersinggungan dengan pemikiran sekte Mu'tazilah adalah karena Imam Abu Hasan al-Asy’ari tumbuh bersama Syekh Ali al-Juba’i, seorang ulama Mu'tazilah yang menikahi ibunya setelah wafat ayah beliau. Akan tetapi hal ini tidak sedikit pun mengubah kecondongan beliau terhadap paham Ahlussunnah wal Jama’ah.   Hal ini terbukti dengan beberapa kali Imam Abu Hasan al-Asy’ari mendebat pemikiran Syekh Ali al-Juba’i selaku ayah tiri beliau sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Asakir dalam kitab Tabyiin Kadziib al-Muftari:   


ولا شك أن دين أبي الحسن رحمه الله متين وتبرأه من مذهب المعتزلة ظاهر مبين ومناظرته لشيخه الجبائي مشهورة واستظهاراته عليه فيالجدل مذكورة  


 “Dan tidak diragukan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari memiliki agama yang kuat. Terlepasnya beliau dari paham Mu'tazilah sudah sangat jelas. 

Perdebatannya dengan gurunya yaitu Syekh Ali al-Juba’i sangat masyhur. Serta penolakannya terhadap pemikiran Syekh Ali al-Juba’i dalam banyak perdebatan disebut dalam sejarah” 

(Ibnu Asakir, Tabyiin Kadziib al-Muftari, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1999, h.381)  

 

Di sisi lain, Syekh Ibnu Asakir juga memberikan penegasan bahwa latar belakang kehidupan Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang pernah hidup bersama Syekh Ali al-Juba’i justru menjadi bekal beliau dalam mematahkan seluruh argumentasi sekte Mu'tazilah di kemudian hari.     


Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo 


Sumber: https://islam.nu.or.id

Share:

Kamis, 11 Maret 2021

Menjawab pertanyaan Dimana Allah




وإذا سأل الطفل: "أين الله؟"

 فيجاب بأن الله أكبر من كل شيء،

 وأنه أعظم من كل مكان، 

وأنه سبحانه لا يحويه شيء، 

بل هو سبحانه وتعالى {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُالشورى/ 11،

 ويجب على الوالدين والمربين والمدرسين أن يغرسوا في قلوب الأبناء أن الله تعالى ليسمشابهاً للمخلوقات،

 منزه عن كل وصف لا يليق به، 

وذلك بالعبارات التي تناسب مستواهم العقليّ والمعرفي.


وأما حكم استعمال عبارة "أين الله"؛ 

فهي في الأصل غير جائزة شرعاً، 

لأنّ المعنى الحقيقي في اللّغة للفظ "أينالسؤال عن المكان، 

والله تعالى لا يجوز عليه الحلول في المكان أصلاً،

 وأمّا إنْ قصد بلفظ "أينالمعنى المجازي وهو السؤال عن المكانة والمنزلة فجائز شرعاً، 

وقد وردهذا المعنى في كلام عثمان رضي الله عنه 

أنه تكلم عنده صعصعة بن صوحان فأكثر، فقال

أيها الناس إن هذا البجباج النفاخ لا يدري ماالله ولا أين الله.، 

معناهأن حاله في وضع لسانه من إكثار الخطل 

وما لا ينبغي أن يقال كلّ موضع 

كحال من لا يدري أن الله سميع لكلكلام،

 عالم بما يجري في كل مكان

[الفائق في غريب الحديث 1/ 78].

وقد وردت عبارة "أين اللهأيضاً في حديث الجارية الذي جاء فيه

"قَالَوَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَيَوْمٍ، فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، 

وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ،

 لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً،

 فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ، 

فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُيَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟

 قَالَ: (ائْتِنِي بِهَا)، فَأَتَيْتُهُ بِهَا، 

فَقَالَ لَهَا: (أَيْنَ اللهُ؟

قَالَتْفِي السَّمَاءِ، قَالَ: (مَنْ أَنَا؟

قَالَتْأَنْتَ رَسُولُ اللهِ، 

قَالَ: (أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌرواه مسلم.

وقال الحافظ ابن فورك في شرح هذا الحديث 

(ص158، بتصرف): ظاهر اللغة يدل أن "أينموضوعة للسؤال عن المكان، 

وهذا هو أصل هذهالكلمة، غير أنهم قد استعملوها عن مكان المسؤول عنه في غير هذا المعنى، 

وذلك أنهم يقولون عند استعلام منزلة المستعلم عند من يستعلمهأين منزلة فلان منك، وأين فلان من الأمير؟

 واستعملوه في استعلام الفرق بين الرتبتين بأن يقولواأين فلان من فلان، 

وليس يريدون المكانوالمحل، بل يريدون الاستفهام عن الرتبة والمنزلة، فإذا كان ذلك مشهوراً في اللغة احتمل أن يقال

إن معنى قوله صلى الله عليه وسلم "أيناللهاستعلام لمنزلته وقدره عند الجارية وفي قلبها، أي هو رفيع الشأن عظيم المقدار."

وجاء في [معالم السنن للخطابي 1/ 222]: "


هذا السؤال عن أمارة الإيمان وسمة أهله، وليس بسؤال عن أصل الإيمان وصفة حقيقته، ولو أنكافراً يريد الانتقال من الكفر إلى دين الإسلام فوصف من الإيمان هذا القدر الذي تكلمت به الجارية لم يصر به مسلماً حتى يشهد أن لا إلهإلاّ الله وأن محمداً رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويتبرى من دينه الذي كان يعتقده".


وقال الإمام النووي في [شرح مسلم 5/ 24]: "

قوله صلى الله عليه وسلمأين الله، قالتفي السماء،

 قالمن أنا؟ قالتأنت رسول الله، قالأعتقها فإنها مؤمنة، هذا الحديث من أحاديث الصفات، وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الإيمان، أحدهماالإيمان به من غيرخوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثانيتأويله بما يليق به، فمن قال بهذا قالكانالمراد امتحانها هل هي موحدة تقرّ بأنّ الخالق المدبر الفعال هو الله وحده، وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلياستقبل الكعبة، وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصراً في جهة الكعبة، بل ذلك لأنّ السماء قبلة الداعين، كما أن الكعبةقبلة المصلين، أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثان التي بين أيديهم، فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للأوثان".


وعليه؛ فإنّ الله تعالى منزّه عن أن يحويه المكان، أو يسأل عنه بأين بمعناها اللغوي الظاهر وهو الاستعلام عن المكان، فإنه خالق المكانوالزمان، ومن الواجب أن نعلم ذلك للأطفال، وأن نجيبهم على أسئلتهم بما يناسب قدراتهم وبما يعرفهم أن الله تعالى منزه عن مشابهةالمخلوقاتوالله تعالى أعلم.


Share:

Kategori Artikel