Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Jumat, 19 Desember 2014

ABUYA PROFESOR MUHIBBUDIN WALY

Abuya Muhibbudin Waly tokoh mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Nangroe Aceh Darussalam.
ABUYA PROFESOR  MUHIBBUDIN WALY
Namanya Teungku     Dr. Muhibbudin Waly, putra dari Syaikh Muhammad Waly, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di tanah Rencong yang berasal dari nagari Minangkabau. Dari garis ayahandanya, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Syaikh Muda Waly, mengalir darah ulama besar di Minang. Paman Syaikh Muda Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang wali Allah yang sangat termasyhur di tanah Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syaikh Muda Waly juga mewarisi kharisma dan karomahnya. Konon beliau pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap mata. Syaikh Muda Waly, ayah Buya Muhibbudin adalah sahabat Syaikh Yasin al-Fadany Mekkah saat masih sama-sama berguru pada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek dari Sayyid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky al-Maliky al-Hasany. Karena hubungan itu pula, ulama besar tersebut pernah mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Buya beberapa tahun lalu. Pertemuan berikutnya dengan Syaikh Yasin al-Fadani juga tidak berbeda. Sambil terus memegang tangannya, Syaikh Yasin kemudian memberikan ijazah atas semua hadits Rasulullah yang dikuasainya. Teungku Muhibbudin Waly belajar tarekat pertama kali dari ayahnya, yang membimbingnya meniti tarekat Naqsyabandiyah. Namun karena takzim, setelah dianggap cukup, Syaikh Muda Wali menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syaikh Abdul Ghoni al-Kampary. Ahli Ushul Fiqh Saat itu di pesisir timur utara pulau Sumatera, ada dua orang guru mursyid besar yang tinggal di daerah Riau. Keduanya termasyhur min jumlatil aulia, termasuk golongan wali-wali Allah, yaitu Syaikh Abdul Ghoni Kampar yang murid-muridnya kebanyakan adalah para ulama dan Syaikh Abdul Wahhab Rokan yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Buya Muhibbudin Waly juga mendapat ijazah irsyad, menjadi guru mursyid, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ulama kharismatik KH. Shohibul Wafa` Tajul `Arifin (Abah Anom) pengasuh pesantren Suryalaya dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari guru besarnya Syaikh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para alim ulama memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan hingga kini. Buya menceritakan nasihat ayahandanya, “Jika kau bertemu dengan orang alim, jangan pernah berdebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya lalu cium tangannya.” Syaikh Muhibbudin Waly mengambil gelar doktornya di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo dengan disertasi tentang Pengantar Hukum Islam. Waktu kuliahnya terbilang singkat yang diselesaikannya tahun 1971. Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir tahun 2004 lalu, Buya Muhibbudin Waly lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat, dan menulis. Saat ini ada beberapa buku tentang Tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi Tarekat yang diberi judul Kapita Selecta Tarekat Shufiyyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga buah kitab yang diharapkan akan jadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya. 
Tiga kitab tersebut adalah Tafsir Waly (Tafsir al-Quran), Fathul Waly (Syarah dari kitab Jauharatut Tauhid) dan Nahjatuh an-Nadiyah ila Martabat as-Shufiyyah (Sebuah kitab di bidang ilmu Tasawuf). Sebagai pewaris darah pujangga-pujangga Minangkabau, kemahirannya dalam menulis syair pun tak perlu diragukan lagi. Belum lama ini beliau mengijazahkan syair tawasul tarekat, yang digubahnya sendiri dalam dua bahasa Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan tentang proses perjalanan suluknya, yang diselingi dengan doa tawasul kepada para pendiri tarekat-tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya. Kini, di usianya yang terbilang senja, Buya mengaku tidak lagi sekuat dulu dalam berkhidmah pada agama, nusa dan bangsa. Namun demikian beliau tetap berusaha melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulannannya menjadi tiga. Bulan pertama Buya tinggal di Jakarta, bulan kedua ia habiskan di Aceh dan bulan ketiga Tengku Muhibbudin melayani undangan ke daerah-daerah lain.

Allahummaghfirlahu warhamhu .
Share:

Rabu, 17 September 2014

BIOGRAFI SYECH IBNU 'ATHAILLAH ASSAKANDARY

Kelahiran dan keluarganya


Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al- Karim bin Athoillah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Yastrib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aribah.
Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili - pendiri Thariqah al-Syadziliyyah sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya Lathoiful Minan Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan:
“Demi Allah, kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding. Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang Ulama fiqih pada masanya.
Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al- Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Athoillah memang salah satu kota
ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’Sholihin.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang- terangan tidak menyukainya. 
Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan:
“Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi.Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ”Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. 
Dengan bijakNabi mengatakan : ” Tidak,, aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”.
Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.
Pada akhirnya Ibn Atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf.

Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup
Athoillah menjadi tiga masa :


Masa pertama


Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih,usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh

pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Athoillah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.


Masa kedua


Masa ini merupakan masa paling

penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf.
Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk
mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban,keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. 
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan
aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi. Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan    “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata :
“Tuanku, apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini
dan berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan
sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.


Masa ketiga


Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Athaillah dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Allah pada tahun 709 H.


Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan IbnuAthoillah
dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Athoillah, ruanganyang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi  orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping
tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. 
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat- riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel
dan beliau menjadi simbol kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Athoillah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al- Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-syafiiyyah al- Kubro. Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn
Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Beliaulah yg ahirnya mampu menyadarkan seorang yg di klaim sebagai Imam para kaum puritan wahabi/salafi yg dulunya sangat menentang sebagian Kaum Shufi yaitu Imam Ibnu Taymiyyah, dari aqidah tajsim menjadi kembali ke aqidah asy’ariyyah dan tidak lagi membenci kaum shufi.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: SyaikhKamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras
 “Wahai Kamal tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Athoillah ketika meninggal kelak. 
Di antara karomah pengarang kitabal-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Masa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya :
“Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.


Ibn Atho’illah wafat

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Share:

Senin, 01 September 2014

SYAIR KEHIDUPAN

(Sungguh aneh) jika jiwa menangis karena perkara dunia (yang terluput)  padahal jiwa tersebut mengetahui bahwa keselamatan adalah dengan meninggalkan dunia.
Tidak ada rumah bagi seseorang untuk ditempati setelah  kematian, kecuali rumah yang ia bangun sebelum matinya.
Jika ia membangun rumahnya (tatkala masih hidup) dengan amalan kebaikan maka rumah yang akan ditempatinya setelah matipun akan baik pula. 
Harta kita yang kita kumpulkan adalah milik ahli waris kita, dan rumah-rumah (batu) yang kita bangun akan rusak dimakan waktu.
Betapa banyak kota (megah) dipenjuru duniat telah dibangun, namun akhirnya rusak dan runtuh, dan kematian telah menyirnakan para penghuninya.
Dimanakah para raja dan pimpinan yang dahulu berkuasa? Agar mereka bisa meneguk cangkirkematian.
Janganlah engkau  condong kepada dunia, karena tidak diragukan lagi bahwa kematian pasti akan membuat dunia sirna dan membuat kita pun fana.
Hendaknya engkau beramal untuk rumah masa depan yang isinya adalah keridhaan Allah, dan tetanggamu adalah Nabi Muhammad serta yang membangunnya adalah Ar-Rahman (Allah yang maha penyayang) Bangunannya terbuat dari emas, dan tanahnya menghembuskan harumnya misik serta za’faran adalah rerumputan yang tumbuh di tanah tersebut, Sungai-sungainya adalah air susu yang murni jernih, madu dan khamar, yang mengalir dengan bau yang semerbak,Burung-burung berkicau di atas ranting dan dahan di atas pohon- pohon yang ada di surga.Mereka bertasbih memuji Allah dalam kicauan mereka.
Siapa yang hendak membangun surga firdaus maka hendaknya ia memenuhinya dengan shalat di dalam kegelapan malam.
Share:

ORANG YANG BANGKRUT

 Haramnya Berbuat Zhalim



Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada sahabatnya,apakah kalian tau siapa orang yang bangkrut?

Dijawab oleh para  sahabat Nabi : Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak punya uang, tidak punya harta, apabila berdagang ia rugi, dan lainnya.

Rasulullah Saw berkata : Bukan itu, orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yg datang di hari kiamat nanti dengan shalatnya, puasanya, dan zakatnya tapi karena lidahnya pernah memaki , menuduh zina , suka megambil harta orang, menyebabkan pertumpahan darah, dan memukul orang .Maka kemudian orang yang dicaci mengambil pahala yang mencacinya ,orang yang dizhalimi mengambil pahala dari orang yang mendzaliminya, orang yang dituduh zina mengambil pahala orang yang  menuduhnya dan seterusnya ,seperti itu berulang-ulang diambilkan satu persatu. Kalau sudah habis pahalanya, lalu belum beres urusannya. Maka kemudian diambilkan dosa-dosa orang yang didzalimi lalu diberikan bagi yg mendzalimi, dan dilemparkan mereka ke neraka .Na'uzubillah min zalik..

(HR. Imam Muslim)

Hikmahnya :
* Jangan lihat orang lain dalam memahami hadist ini, lihat diri ANDA?! * Koreksi diri anda berapa kali engkau menyakiti orang?
* Dzalimkah kita kepada sesama? Semoga Allah selalu melindungi segara langkah kita, dan semoga kita di jauhkan dari segala perbuatan yang membuat kita menjadi bangkrut di akhirat kelak..

Wallahu a'lam bissawab

Share:

Selasa, 05 Agustus 2014

ADAB BERZIKIR

Untuk melaksanakan dzikir didalam thariqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-’Aliyah fi al-Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan, pada pasal Adab adz-Dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Sya’roni, bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1.     Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.
2.     Mandi dan atau  wudlu.
3.     Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.
4.     Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir  terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5.     Menyakini bahwa dzikir thariqoh yang didapat dari syaikhnya adalah  dzikir yang didapat  dari Rasulullah Saw, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;
1.     Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat..
2.     Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
3.     Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau  wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4.     Memakai pakaian yang halal dan suci.
5.     Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6.     Memejamkan kedua mata,  karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dzahir, karena dengan tertutupnya indra dzahir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.
7.     Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thariqoh merupakan adab yang sangat penting.
8.     Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).
9.     Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan  seseorang yang berdzikir akan sampai derajat ash-shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan) kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).
10.    Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah , karena bacaan ini memiliki  keistimewaan yang tidak  didapati pada bacaan- bacaan dzikir syar’i lainnya.
11.    Menghadirkan makna  dzikir di dalam hatinya.
12.    Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah  dengan La ilaaha illallah , agar pengaruh kata “illallah” terhujam di dalam hati  dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
1.     Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thariqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
2.     Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini – menurut ulama thariqoh- lebih cepat menyinarkan bashirah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan–bisikan hawa nafsu dan syetan.
3.     Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq (rindu) dan tahyij (gairah) kepada al-madzkur/Allah Swt  yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir  akan memadamkan rasa tersebut.
Para guru mursyid berkata: ”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan  tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul  dengan hal tersebut.” Wallahu a’lam.
Share:

AHLAN BIK YA RASULALLAH



اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد
و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
فاطربوا يا اهل المثاني فهزار اليمن غرد
و استضيئوا بجمال فاق في الحسن تفرد
و لنا البشرى بسعد مستمر ليس ينفد
حيث اوتينا عطاء جمع الفخر المؤبد
فلربي كل حمد جل ان يحصره العد
اذ حبانا بوجود المصطفى الهادي محمد
يا رسول الله اهلا بك انا بك نسعد
و بجاهه يا الهي جد و بلغ كل مقصد
و اهدنا نهج سبيله كي به نسعد و نرشد
رب بلغنا بجاهه في جواره خير مقعد
و صلاة الله تغشى اشرف الرسل محمد
و سلام مستمر كل حين يتجدد



Alam bersinar cemerlang bersukaria
Demi menyambut kelahiran Ahmad al-Musthofa
Penghuni alam bersukacita
Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya
Wahai pengikut al-Quran, hendaklah kamu bergembira
Burung-burung turut berkicauan tanda suka
Keindahan baginda menerangi segalanya
Mengatasi segala keindahan tanpa ada bandingannya
Dan wajib kita untuk bergembira atas bahagia
Yang berkesinambungan selama-lama
Tatkala kita menerima anugerahNya
Anugerah yang menghimpun kebanggaan sepanjang masa
Maka bagi Tuhanku segala puji dan puja
Pujian yang tiada terkira-kira
Atas anugerahNya dengan wujudnya baginda
Kelahiran Junjungan Muhammad al-Hadi al-Musthofa
Ya Rasulullah, selamat datang ahlan wa sahlan
Sungguh denganmu kami beroleh kebahagiaan
Wahai Tuhanku, demi jah Nabi Junjungan
Kurniakanlah dan sampaikan segala maksud dan tujuan
Dan hidayahkanlah kami atas jalan Nabi Junjungan
Agar dengannya kami beroleh kebahagiaan dan pimpinan
Wahai Tuhan, sampaikanlah kami demi jah Nabi Junjungan
Di sisi baginda duduk berdampingan
Sholawat Allah dilimpahkan
Atas semulia-mulia rasul Nabi Junjungan
Beserta salam yang berkekalan
Sepanjang masa berubah zaman
Share:

Selasa, 22 Juli 2014

KISAH IMAM MUSLIM RADHIYALLAHU ANHU

Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yangsekarang ini termasuk wilayah Rusia,dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun.Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa,ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. 


Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili.Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili,Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama diberbagai tempat dan negara.Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. 
Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan.
Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah.
Di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya. Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya. Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun. 

Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana(mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata). Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya)setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli dibidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Reputasinya mengikuti gurunya

Imam Bukhari Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa !kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi. akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa. Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. 

Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa.
"Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, . "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan,ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."
Kitab Shahih Muslim Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya,kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi.Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu,perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid. Walaupun beliau memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits,namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al- Bukhari.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.



Antara Imam al-Bukhari dan Imam Muslim



Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari. Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain. Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. 


Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim
menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Imam Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga
mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari. Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar , bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Imam Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya. Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih
Muslim .Karya-karya Imam Muslim Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti:
1) Al-Asma’ wal-Kuna, 
2) Irfadus Syamiyyin,
3) Al-Arqaam,
4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 
5) Auhamul Muhadditsin, 
6)At-Tarikh, 
7) At- Tamyiz, 
8) Al-Jami’,
9) Hadits Amr bin Syu’aib, 
10) Rijalul ‘Urwah,
11)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal,
12) Thabaqat, 
13) Al-I’lal, 
14) Al-Mukhadhramin, 
15) Al-Musnad al-Kabir, 
16) Masyayikh ats-Tsawri, 
17)Masyayikh Syu’ban 
18) Masyayikh Malik, 
19) Al-Wuhdan,
20) As-Shahih al-Masnad. 
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.


Wafatnya Imam Muslim


Imam Muslim wafat pada Ahad sore,pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin



Sumber : Piss ktb 
Share:

ISI RISALAH AMMAN

RISALAH AMMAN FATWA KONFERENSI ULAMA ISLAM INTERNASIONAL

Konferensi ini diadakan diAmman, Mamlakah Arabiyyah Yordania, dengan tema “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern”. (27-29 Jumadil Ula. 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.)

Bismillahirrahmanirrahim.
Shalawat dan salam semoga
tercurah pada Baginda Nabi
Muhammad Saw. dan keluarganya yang suci. “Wahai
manusia, bertakwalah kepada
Allah yang telah menciptakan
kalian dari satu jiwa…
” (QS. an-Nisa ayat 1).

Sesuai dengan fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh yang terhormat:

1. Al-Imam al-Akbar Syaikh
Mahmud Syalthut, asy-Syaikh
Ahmad Thanthowi, Dewan
Rektorat Universitas al-Azhar,
Kairo, Mesir.
2. Ayatullah Sayyid Ali as-Sistani
Mufti Besar Syi’ah Iraq.
3. Ayatullah ‘Udzma Sayyid Ali
Khamenei al-Husaini Mufti Besar
Syi’ah Iran.
4. Yang Terhormat Mufti Besar
Kesultanan Oman.
5. Akademi Fiqih Islam Kerajaan
Saudi Arabiyyah.
6. Dewan Urusan Agama Turki.
7. Mufti Akbar Kerajaan Yordania
dan Para Anggota Komite Fatwa
Nasional Yordania.
8. Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi
Mufti Besar Sunni Mesir.

Sesuai dengan kandungan pidato
yang mulia Raja Abdullah II bin
al-Hussein, Raja Yordania, pada
acara pembukaan konferensi.
Sesuai dengan pengetahuan
tulus ikhlas kita pada Allah Swt.,
dan sesuai dengan seluruh
makalah penelitian dan kajian
yang tersaji dalam konferensi ini
serta seluruh diskusi yang timbul
darinya. Kami, yang bertandatangan di bawah ini,
dengan ini menyetujui dan
menegaskan kebenaran butir-
butir yang tertera di bawah ini:

1) Siapa saja yang mengikuti dan
menganut salah satu dari empat
madzhab Ahlussunnah (Hanafi,
Syafi’i, Maliki, Hanbali), dua
madzhab Syi’ah Ja’fariyyah dan
Zaidiyyah, madzhab Ibadhiyyah
dan madzhab Dzahiriyyah adalah
Muslim. Tidak diperbolehkan
mengkafirkan salah seorang dari
pengikut/penganut madzhab-
madzhab yang disebut di atas.
Darah, kehormatan dan harta
benda salah seorang dari
pengikut/penganut madzhab-
madzhab yang disebut di atas
tidak boleh dihalalkan. Lebih
lanjut, tidak diperbolehkan
mengkafirkan siapa saja yang
mengikuti akidah Asy’ari atau
siapa saja yang mengamalkan
tasawuf (sufisme). Demikian
pula, tidak diperbolehkan
mengkafirkan siapa saja yang
mengikuti pemikiran Salafi yang
sejati. Sejalan dengan itu, tidak
diperbolehkan mengkafirkan
kelompok Muslim manapun yang
percaya pada Allah mengagungkan dan
mensucikanNya, meyakini
Rasulullah (Saw.) dan rukun-
rukun iman, mengakui lima rukun
Islam, serta tidak mengingkari
ajaran-ajaran yang sudah pasti
dan disepakati dalam agama
Islam.

2) Ada jauh lebih banyak
kesamaan dalam madzhab-
madzhab Islam dibandingkan
dengan perbedaan-perbedaan di
antara mereka. Para pengikut/
penganut kedelapan madzhab
Islam yang telah disebutkan di
atas semuanya sepakat dalam
prinsip-prinsip utama Islam
(ushuluddin). Semua madzhab
yang disebut di atas percaya
pada satu Allah Yang Maha Esa
dan Makakuasa; percaya pada al-
Quran sebagai wahyu Allah; dan
bahwa Baginda Muhammad Saw.
adalah Nabi dan Rasul untuk
seluruh manusia. Semua sepakat
pada lima rukun Islam: dua
kalimat syahadat (syahadatain),
kewajiban shalat, zakat, puasa di
bulan Ramadhan, dan Haji ke
Baitullah di Mekkah. Semua
percaya pada dasar-dasar akidah
Islam: kepercayaan pada Allah,
para malaikatNya, kitab-kitabNya,
para rasulNya, hari akhir, dan
takdir baik dan buruk dari sisi
Allah. Perbedaan di antara ulama
kedelapan madzhab Islam
tersebut hanya menyangkut
masalah-masalah cabang agama
(furu’) dan tidak menyangkut
prinsip-prinsip dasar (ushul)
Islam. Perbedaan pada masalah-
masalah cabang agama tersebut
adalah rahmat Ilahi. Sejak dahulu
dikatakan bahwa keragaman
pendapat di antara ulama adalah
hal yang baik.

3) Mengakui kedelapan madzhab
dalam Islam tersebut berarti
bahwa mengikuti suatu
metodologi dasar dalam
mengeluarkan fatwa: tidak ada
orang yang berhak mengeluarkan
fatwa tanpa keahlihan pribadi
khusus yang telah ditentukan
oleh masing-masing madzhab
bagi para pengikutnya. Tidak ada
orang yang boleh mengeluarkan
fatwa tanpa mengikuti
metodologi yang telah ditentukan
oleh madzhab-madzhab Islam
tersebut di atas. Tidak ada orang
yang boleh mengklaim untuk
melakukan ijtihad mutlak dan
menciptakan madzhab baru atau
mengeluarkan fatwa-fatwa yang
tidak bisa diterima hingga
membawa umat Islam keluar dari
prinsip-prinsip dan kepastian-
kepastian syariah sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh
masing-masing madzhab yang
telah disebut di atas.

4) Esensi Risalah Amman, yang
ditetapkan pada malam Lailatul
Qadar tahun 1425 H dan
dideklarasikan dengan suara
lantang di Masjid al-Hasyimiyyin,
adalah kepatuhan dan ketaatan
pada madzhab-madzhab Islam
dan metodologi utama yang telah
ditetapkan oleh masing-masing
madzhab tersebut. Mengikuti
tiap-tiap madzhab tersebut di
atas dan meneguhkan
penyelenggaraan diskusi serta
pertemuan di antara para
penganutnya dapat memastikan
sikap adil, moderat, saling
memaafkan, saling menyayangi,
dan mendorong dialog dengan
umat-umat lain.

5) Kami semua mengajak seluruh
umat untuk membuang segenap
perbedaan di antara sesama
Muslim dan menyatukan kata dan
sikap mereka, menegaskan
kembali sikap saling menghargai,
memperkuat sikap saling
mendukung di antara bangsa-
bangsa dan negara-negara umat
Islam. Memperkukuh tali
persaudaraan yang menyatukan
mereka dalam saling cinta di jalan
Allah. Dan kita mengajak seluruh
Muslim untuk tidak membiarkan
pertikaian di antara sesama
Muslim dan tidak membiarkan
pihak-pihak asing mengganggu
hubungan di antara mereka. Allah
Swt. berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang beriman adalah
bersaudara. Maka itu islahkan
hubungan di antara saudara-
saudara kalian dan bertakwalah
kepada Allah sehingga kalian
mendapat rahmatNya.” (QS. al-
Hujurat ayat 10).

Amman, Mamlakah Arabiyyah
Yordania, 27-29 Jumadil Ula
1426 H/4-6 Juli 2005 M.

Dewan Penandatangan Fatwa
Konferensi Ulama Islam
Internasional:
1. Afghanistan
· Yth. Nusair Ahmad Nour Dubes
Afghanistan untuk Qatar
2. Aljazair
· Yth. Lakhdar Ibrahimi Utusan
Khusus Sekjen PBB; Mantan
Menlu Aljazair
· Prof. Dr. Abdullah bin al-Hajj
Muhammad al-Ghulamullah
Menteri Agama
· Dr. Mustafa Syarif Menteri
Pendidikan
· Dr. Sa’id Syaiban Mantan
Menteri Agama
· Prof. Dr. Ammar ath-Thalibi
Departemen Filsafat, University of
Algeria
· Mr. Abu Jara as-Sulthani Ketua
LSM Algerian Peace Society
Movement
3. Austria
· Prof. Anas ash-Shaqfa Ketua
Komisi Islam
· Mr. Tarafa Baghajati Ketua LSM
Initiative of Austrian Muslims
4. Australia
· Syaikh Salim ‘Ulwan al-Hassani
Sekjen, Darulfatwa, Dewan Tinggi
Islam
5. Azerbaijan
· Syaikh al-Islam Allahusysyakur
bin Hemmat Bashazada Ketua
Muslim Administration of the
Caucasus
6. Bahrain
· Syaikh Dr. Muhammad Ali as-
Sutri Menteri Kehakiman
· Dr. Farid bin Ya’qub al-Miftah
Sekretaris Kementerian Agama
7. Bangladesh
· Prof. Dr. Abu al-Hasan Shadiq
Rektor Asian University of
Bangladesh
8. Bosnia dan Herzegovina
· Prof. Dr. Syaikh Mustafa Ceric
Ketua Majlis Ulama dan Mufti
Besar Bosnia dan Herzegovina
· Prof. Hasan Makic Mufti Bihac
· Prof. Anes Lj evakovic Peneliti
dan Pengajar, Islamic Studies
College
9. Brazil
· Syaikh Ali Muhmmad Abduni
Perwakilan International Islamic
Youth Club di Amerika Latin
10. Kanada
· Syaikh Faraz Rabbani Guru,
Hanafijurisprudence,
11. Republik Chad
· Syaikh Dr. Hussein Hasan Abkar
Presiden, Higher Council for
Islamic Affair; Imam Muslim,
Chad
12. Mesir
· Prof. Dr. Mahmud Hamdi
Zaqzuq Menteri Agama
· Prof. Dr. Ali Jum’ah Mufti Besar
Mesir
· Prof. Dr. Ahmad Muhammad
ath-Thayyib Rektor Universitas al-
Azhar University
· Prof. Dr. Kamal Abu al-Majd
Pemikir Islam; Mantan Menteri
Informasi
· Dr. Muhammad al-Ahmadi Abu
an-Nur Mantan Menteri Agama
Mesir; Profesor Fakultas Syariah,
Yarmouk University, Jordan
· Prof. Dr. Fauzi az-Zifzaf Ketua
Masyayikh al-Azhar; Anggota the
Academy of Islamic Research
· Prof. Dr. Hasan Hanafi Peneliti
dan Cendekiawan Muslim,
Departemen Filsafat, Cairo
University
· Prof. Dr. Muhammad
Muhammad al-Kahlawi Sekjen
Perserikatan Arkeolog Islam;
Dekan Fakultas Studi
Kesejarahan Kuno, Cairo
University
· Prof. Dr. Aiman Fuad Sayyid
Mantan Sekjen, Dar al-Kutub al-
Mishriyyah
· Syaikh Dr. Zaghlul Najjar
Anggota Dewan Tinggi Urusan
Islam, Mesir
· Syaikh Muis Mas’ud Dai Islam
· Dr. Raqid as-Sirjani
· Dr. Muhammad Hidaya
13. Perancis
· Syaikh Prof. Dalil Abu Bakr
Ketua Dewan Tinggi Urusan
Agama Islam dan Dekan Masjid
Paris
· Dr. Husain Rais Direktur Urusan
Budaya, Masjid Jami’ Paris
14. Jerman
· Prof. Dr. Murad Hofmann
Mantan Dubes Jerman untuk
Maroko
· Syaikh Shalahuddin al-Ja’farawi
Asisten Sekjen World Council for
Islamic Propagation
15. India
· H.E. Maulana Mahmud Madani
Anggota Parlemen Sekjen Jamiat
Ulama Hindia
· Ja’far ash-Shadiq Mufadhdhal
Saifudin Cendikiawan Muslim
· Thaha Saifudin Cendikiawan
Muslim
· Prof. Dr. Sayyid Aushaf Ali
Rektor Hamdard University
· Prof. Dr. Akhtar al-Wasi Dekan
College of Humanities and
Languages
16. Indonesia
· Dr. Tutty Alawiyah Rektor
Universitas Islam asy-Syafi’iyah
· Rabhan Abdul Wahhab Dubes
RI untuk Yordania
· KH. Ahmad Hasyim Muzadi
Mantan Ketua Umum PBNU
· Rozy Munir Mantan Wakil Ketua
PBNU
· Muhamad Iqbal Sullam
International Conference of
Islamic Scholars, Indonesia
17. Italia
· Mr. Yahya Sergio Pallavicini
Wakil Ketua, Islamic Religious
Community of Italy (CO.RE.IS.)
18. Maladewa
· Dr. Mahmud asy-Syauqi Menteri
Pendidikan
19. Republik Islam Iran
· Ayatullah Syaikh Muhammad Ali
at-Taskhiri Sekjen Majma’ Taqrib
bainal Madzahib al-Islamiyyah.
· Ayatullah Muhammad Waez-
zadeh al-Khorasani Mantan
Sekjen Majma’ Taqrib bainal
Madzahib al-Islamiyyah
· Prof. Dr. Musthafa Mohaghegh
Damad Direktur the Academy of
Sciences; Jaksa; Irjen
Kementerian Kehakiman
· Dr. Mahmud Muhammadi Iraqi
Ketua LSM Cultural League and
Islamic Relations in the Islamic
Republic of Iran
· Dr. Mahmud Mar’ashi an-Najafi
Kepala Perpustakaan Nasional
Ayatollah Mar’ashi an-Najafi
· Dr. Muhammad Ali Adharshah
Sekjen Masyarakat Persahabatan
Arab-Iran
· Syaikh Abbas Ali Sulaimani
Wakil Pemimpin Spiritual Iran di
wilayah Timur Iran
20. Iraq
· Grand Ayatullah Syaikh Husain
al-Muayyad Pengelola Knowledge
Forum
· Ayatullah Ahmad al-Bahadili Dai
Islam
· Dr. Ahmad Abdul Ghaffur as-
Samara’i Ketua Diwan Waqaf
Sunni
21. Yordania
· Prof. Dr. Ghazi bin Muhammad
Utusan Khusus Raja Abdullah II
bin al-Hussein
· Syaikh Izzudin al-Khatib at-
Tamimi Jaksa Agung
· Prof. Dr. Abdussalam al-Abbadi
Mantan Menteri Agama
· Prof. Dr. Syaikh Ahmad Hlayyel
Penasehat Khusus Raja Abdullah
dan Imam Istana Raja
· Syaikh Said al-Hijjawi Mufti
Besar Yordania
· Akel Bultaji Penasehat Raja
· Prof. Dr. Khalid Touqan Menteri
Pendidikan dan Riset
· Syaikh Salim Falahat Ketua
Umum Ikhwanul Muslimin
Yordania
· Syaikh Dr. Abdul Aziz Khayyat
Mantan Menteri Agama
· Syaikh Nuh al-Quda Mantan
Mufti Angkatan Bersenjata
Yordania
· Prof. Dr. Ishaq al-Farhan
Mantan Menteri Pendidikan
· Dr. Abdul Lathif Arabiyyat
Mantan Ketua DPR Yordania;
Syaikh Abdul Karim Salim
Sulaiman al-Khasawneh Mufti
Besar Angkatan Bersenjata
Yordania
· Prof. Dr. Adel at-Tuwaisi
Menteri Kebudayaan
· Mr. Bilal at-Tall Pemimpin
Redaksi Koran Liwa’
· Dr. Rahid Sa’id Shahwan
Fakultas Ushuluddin, Balqa
Applied University
22. Kuwait
· Prof. Dr. Abdullah Yusuf al-
Ghoneim Kepala Pusat Riset dan
Studi Agama
· Dr. Adel Abdullah al-Fallah Wakil
Menteri Agama
23. Lebanon
· Prof. Dr. Hisyam Nashabih
Ketua Badan Pendidikan Tinggi
· Prof. Dr. Sayyid Hani Fahs
Anggota Dewan Tinggi Syiah
· Syaikh Abdullah al-Harari Ketua
Tarekat Habasyi
· Mr. Husam Mustafa Qaraqi
Anggota Tarekat Habasyi
· Prof. Dr. Ridhwan as-Sayyid
Fakultas Humaniora, Lebanese
University; Pemred Majalah al-
Ijtihad
· Syaikh Khalil al-Mais Mufti
Zahleh and Beqa’ bagian Barat
24. Libya
· Prof. Ibrahim ar-Rabu Sekretaris
Dewan Dakwah Internasional
· Dr. al-Ujaili Farhat al-Miri
Pengurus International Islamic
Popular Leadership
25. Malaysia
· Dato’ Dr. Abdul Hamid Utsman
Menteri Sekretariat Negara
· Anwar Ibrahim Mantan Perdana
Menteri
· Prof. Dr. Muhammad Hasyim
Kamaly Dekan International
Institute of Islamic Thought and
Civilisation
· Mr. Syahidan Kasem Menteri
Negara Bagian Perlis, Malaysia
· Mr. Khairi Jamaludin Wakil
Ketua Bidang Kepemudaan
UMNO
26. Maroko
· Prof. Dr. Abbas al-Jarari
Penasehat Raja
· Prof. Dr. Muhammad Farouk
an-Nabhan Mantan Kepala Dar al-
Hadits al-Hasaniyyah
· Prof. Dr. Ahmad Syauqi Benbin
Direktur Perpustakaan
Hasaniyyah
· Prof. Dr. Najat al-Marini
Departemen Bahasa Arab,
Mohammed V University
27. Nigeria
· H.H. Prince Haji Ado Bayero
Amir Kano
· Mr. Sulaiman Osho Sekjen
Konferensi Islam Afrika
28. Mamlakah Oman
· Syaikh Ahmad bin Hamad al-
Khalili Mufti Besar Kesultanan
Oman
· Syaikh Ahmad bin Sa’ud as-
Siyabi Sekjen Kantor Mufti Besar
29. Pakistan
· Prof. Dr. Dzafar Ishaq Ansari
Direktur Umum, Pusat Riset
Islam, Islamabad
· Dr. Reza Shah-Kazemi
Cendikiawan Muslim
· Arif Kamal Dubes Pakistan
untuk Yordania
· Prof. Dr. Mahmud Ahmad Ghazi
Rektor Islamic University,
Islamabad; Mantan Menteri
Agama Pakistan
30. Palestina
· Syaikh Dr. Ikrimah Sabri Mufti
Besar al-Quds dan Imam Besar
Masjid al-Aqsha
· Syaikh Taisir Rajab at-Tamimi
Hakim Agung Palestina
31. Portugal
· Mr. Abdul Majid Wakil Ketua
LSM Banco Efisa
· Mr. Sohail Nakhooda Pemred
Islamica Magazine
32. Qatar
· Prof. Dr. Syaikh Yusuf al-
Qaradawi Ketua Persatuan
Internasional Ulama Islam
· Prof. Dr. Aisya al-Mana’i Dekan
Fakultas Hukum Islam, University
of Qatar
33. Rusia
· Syaikh Rawi ‘Ainudin Ketua
Urusan Muslim
· Prof. Dr. Said Hibatullah
Kamilev Direktur, Moscow
Institute of Islamic Civilisation
· Dr. Murad Murtazein Rektor,
Islamic University, Moskow
34. Arab Saudi
· Dr. Abdul Aziz bin Utsman at-
Touaijiri Direktur Umum, The
Islamic Educational, Scientific and
Cultural Organization (ISESCO)
· Sayyid al-Habib Muhammad bin
Abdurrahman Assegaf
35. Senegal
· Al-Hajj Musthafa Sisi Penasehat
Khusus Presiden Senegal
36. Singapura
· Dr. Ya’qub Ibrahim Menteri
Lingkuhan Hidup dan Urusan
Muslim
37. Afrika Selatan
· Syaikh Ibrahim Gabriels Ketua
Majlis Ulama Afrika Utara South
African Ulama
38. Sudan
· AbdurRahman Sawar adz-
Dzahab Mantan Presiden Sudan
· Dr. Isham Ahmad al-Bashir
Menteri Agama SWISS
· Prof. Tariq Ramadan
Cendikiawan Muslim
39. Syria (Suriah)
· Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buti Dai, Pemikir dan Penulis
Islam
· Prof. Dr. Syaikh Wahbah
Musthafa az-Zuhaili Ketua
Departemen Fiqih, Damascus
University
· Syaikh Dr. Ahmad Badr Hasoun
Mufti Besar Syria
40. Thailand
· Mr. Wan Muhammad Nur
Matha Penasehat Perdana
Menteri
· Wiboon Khusakul Dubes
Thailand untuk Irak
41. Tunisia
· Prof. Dr. al-Hadi al-Bakkoush
Mantan Perdana Menteri Tunisia
· Dr. Abu Bakar al-Akhzuri
Menteri Agama
42. Turki
· Prof. Dr. Akmaluddin Ilisanoghi
Sekjen Organisasi Konferensi
Islam (OKI)
· Prof. Dr. Mualla Saljuq Dekan
Fakultas Hukum, University of
Ankara
· Prof. Dr. Musthafa Qagnci Mufti
Besar Istanbul
· Prof. Ibrahim Kafi Donmez
Profesor Fiqih University of
Marmara
43. Ukraina
· Syaykh Dr. Ahmad Tamim Mufti
Ukraina
44. Uni Emirat Arab
· Mr. Ali bin as-Sayyid
Abdurahman al-Hasyim
Penasehat Menteri Agama
· Syaikh Muhammad al-Banani
Hakim Pengadilan Tinggi
· Dr. Abdusalam Muhammad
Darwish al-Marzuqi Hakim
Pengadilan Dubai
45. Inggris
· Syaikh Abdul Hakim Murad/Tim
Winter Dosen, University of
Cambridge
· Syaikh Yusuf Islam/Cat Steven
Dai Islam dan mantan penyanyi
· Dr. Fuad Nahdi Pemimpin
Redaksi Q-News International
· SamiYusuf Penyanyi Lagu-lagu
Islam
46. Amerika Serikat
· Prof. Dr. Sayyid Hussain Nasr
Penulis dan profesor Studi-studi
Islam, George Washington
University
· Syaikh Hamza Yusuf Ketua
Zaytuna Institute
· Syaikh Faisal Abdur Rauf Imam
Masjid Jami’ Kota New York
· Prof. Dr. Ingrid Mattson
Profesor Studi-studi Islam,
Hartford Seminary; Ketua
Masyarakat Islam Amerika Utara
(ISNA)
47. Uzbekistan
· Syaikh Muhammad ash-Shadiq
Muhammad Yusuf Mufti Besar
48. Yaman
· Al-Habib Umar bin Muhammad
bin Salim bin Hafidz Ketua I
Madrasah Dar al-Mustafa, Tarim
· Al-Habib Ali bin Abdurrahman
al-Jufriy Ketua II Madrasah Dar
al-Mustafa, Tarim

Sumber:
http://pustakamuhibbin.
blogspot.com/2013/08/risalah-
amman-fatwa-konferensi-
ulama_2762.html

Share:

Rabu, 12 Maret 2014

Aqidah : Pemahaman Qadha Dan Qadhar


Definisi Qadla Dan Qadar


Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:


الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ باِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ (رواه مسلم)

“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).


Al-Qadlâ maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbîr,artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyî-ah) yang Azali (tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya.


Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian:


Pertama; Kata al-Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdîr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdîr” Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya.


Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdûr. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdûr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih Wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdûr.


Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan ”buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdîr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdîr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula, ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.


Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan.oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:


مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ (رواه أبو داود)

“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).


Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:


وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أمْرِه (يوسف: 21)

“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).


Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:


وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لأَمَنَ مَن فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا (يونس: 99)

“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99).


Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.


Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatanatau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintahkepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah; “Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”. Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya dengan perintah Allah.


Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinyasembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara ”perintah Allah” dan ”kehendak-Nya”.


Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-orang kafir. Allah berfirman:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإنْسَ إلاّ لِيَعْبُدُوْن (الذاريات: 56)

“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan” mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56).


Makna firman Allah “Illâ Li-Ya’budûn” dalam ayat ini artinya “Illâ Li-Âmurahum Bi ‘Ibâdatî”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkanoleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri. 


Ketentuan Allah Tidak Berubah


Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk apapun.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:


لاَ يَرُدُّ القَضَاءَ شَىءٌ إلاّ الدُّعَاءُ (رواه الترمذي)

“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).


yang dimaksud dengan Qadla di dalam hadits ini adalah Qadlâ Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlâ Mubrab dan Qadlâ Mu’allaq.


Pertama: Qadlâ Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqâwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’âdah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:


يُضِلّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاء (النحل: 93)

“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).


Kedua: Qadlâ Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-lembaran para Malaikat.


Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdîr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah bergantungkepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.


Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186)

“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).


Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas. (Lebih luas lihat al-Adzkâr an-Nawawiyyah, hlm. 353)


(Masalah): Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman Allah:


بِيَدِكَ الْخَيْرُ (ءال عمران: 26)

“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).


Mereka berkata: “Dalam ayat ini Allah hanya menyebutkan kata ”al-Khayr” (kebaikan)saja, tidak menyebutkan asy-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya”.


(Jawab): Kata ”asy-Syarr” (keburukan) tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan.Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah:


وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ (النحل: 81)

“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).


Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: ”Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga segala keburukan.

Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman:


وَخَلَقَ كُلّ شَىء (الفرقان: 2)

”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).


Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:


قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكِ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ (ءال عمران: 26)

“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).


Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain.

Adapun firman Allah:


مَّآأَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَآأَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ (النساء: 79)


ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.


Allah Pencipta Segala Sebab Dan Akibat


Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi.

Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:


إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلَقَ الدّاءَ فَإذَا أصِيْبَ دَوَاء الدّاء بَرِأ بإذْنِ اللهِ (رواه ابن حبان)

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).


Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”.


Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.


Firqah-Firqah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar


Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatannya, mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab)dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin tersebut membawanya. Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan firman Allah:


وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29)

“Dan kalian tidaklah berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 29).


Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyî-ah) oleh Allah, hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba. Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakanbahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb), yaitu dalam firman Allah:


لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ (البقرة: 286)

“Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286).


Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut. Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya, mereka bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita sepakat mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Kaum Qadariyyah yang berkeyakinan seperti itu telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah, di samping itu mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah berfirman:


قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد: 16)

“Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16).


Mustahil Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-Dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh manusia yang notabene sebagai benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah sebagai Pencipta segala benda tersebut, maka demikian pula Allah sebagai Pencipta bagi segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut. Sangat tidak logis jika dikatakan adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah, tapi kemudian benda itu sendiri yang menciptakan sifat-sifat dan segala perbuatannya. Karena itu Imam al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul “Khalq Af’âl al-‘Ibâd”,berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.


Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan dan kekufuran kaum Qadariyyah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri; sama-sama menciptakan. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya, karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya masing-masing, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’ûdzu Billâh.


Golongan ke tiga, yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkanbahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling kecil hingga benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptakan segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut.


Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian; Pertama, Af’âl Ikhtiyâriyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, usaha, kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’âl Idlthirâriyyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. Dalam keyakinan Ahlussunnah; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriyyah, maupun Af’âl Idlthirâriyyah adalah ciptaan Allah.

Share:

Kategori Artikel