Definisi Qadla Dan Qadar
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-poko k iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya . Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkar i Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburka nnya, baik melalui tulisan-tu lisan, maupun di bangku-ban gku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ باِللهِ وَمَلاَئِك َتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ (رواه مسلم)
“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-M alaikat-Ny a, kitab-kita b-Nya, Rasul-Rasu l-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Al-Qadlâ maknanya al-Khalq, artinya penciptaan , dan al-Qadar maknanya at-Tadbîr, artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahua n (al-‘Ilm) dan kehendak-N ya (al-Masyî- ah) yang Azali (tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendak i oleh-Nya terhadap kejadianny a.
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian:
Pertama; Kata al-Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdîr” Allah, yaitu sifat menentukan nya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakin ya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdîr” Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukan nya Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakin ya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaiman a sifat-sifa t Allah lainnya. Sifat-sifa t Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifa t jelek lainnya.
Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdûr. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdûr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiata n, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih Wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdûr.
Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatann ya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatann ya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan ”buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakin ya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdîr Allah ini, sebagaiman a sifat-sifa t-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdîr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintah kan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula, ketika kita katakan; Allah yang menciptaka n kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiata n, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurna an Allah, serta menunjukan akan keluasan dan ketercakup an kekuasaan dan kehendak-N ya atas segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendak i kejadianny a oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan- Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan .oleh kehendak makhluk-Ny a. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ (رواه أبو داود)
“Apa yang dikehendak i oleh Allah -akan kejadianny a- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandak i oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang dikehendak i oleh Allah terhadap kejadianny a maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-N ya, maka hal itu menunjukka n akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaann ya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendak i-Nya pasti terlaksana . Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendak i oleh Allah akan kejadianny a adalah perkara yang wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أمْرِه (يوسف: 21)
“Allah maha mengalahka n (menang) di atas segala urusann-Ny a”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendak i oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalang i-Nya”. (QS. Yusuf: 21).
Allah menghendak i orang-oran g mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya , maka mereka menjadi orang-oran g yang beriman. Dan Allah menghendak i orang-oran g kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya , maka mereka semua menjadi orang-oran g yang kafir. Seandainya Allah berkehenda k semua makhluk-Ny a beriman kepada-Nya , maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya . Allah berfirman:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لأَمَنَ مَن فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا (يونس: 99)
“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehenda k, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99).
Tetapi Allah tidak menghendak i semuanya beriman kepada-Nya . Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya . Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendak i oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendak i oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendak i oleh Allah (ia bermaksud kemaksiata n-kemaksia tan)”, adalah perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintah kan kepada perbuatan- perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintah kepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah; “Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya , dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-N ya, Mahabbah-N ya, dan dengan keridlaan- Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya , dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-N ya, tidak dengan Mahabbah-N ya, dan tidak dengan keridlaan- Nya”. Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiata n tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya dengan perintah Allah.
Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-N ya adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembeli h putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanak an apa yang diperintah kan Allah ini, bahkan telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak- gerakannya di atas leher Nabi Isma’il, namun Allah tidak berkehenda k terjadinya sembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara ”perintah Allah” dan ”kehendak- Nya”.
Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamb a-Nya untuk beribadah kepada-Nya , akan tetapi Allah berkehenda k tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya . Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendak i oleh Allah untuk menjadi orang-oran g beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendak i oleh Allah menjadi orang-oran g kafir. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإنْسَ إلاّ لِيَعْبُدُ وْن (الذاريات: 56)
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahk an” mereka untuk menyembah- Ku”. (QS. adz-Dzariy at: 56).
Makna firman Allah “Illâ Li-Ya’budû n” dalam ayat ini artinya “Illâ Li-Âmurahu m Bi ‘Ibâdatî”, artinya bahwa Allah menciptaka n manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar beribadah kepada-Nya . Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan aku berkehenda k pada mereka untuk menyembah- Ku”. Karena jika diartikan bahwa Allah berkehenda k dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah kepada-Nya , maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-oran g kafir, karena pada kenyataann ya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-ma khluk-Nya sendiri.
Ketentuan Allah Tidak Berubah
Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendak i sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya , sekalipun orang tersebut bersedekah , berdoa, bersilatur rahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya ; kepada ibunya, dan saudara-sa udaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-ama lan kebaikan bentuk apapun.
Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:
لاَ يَرُدُّ القَضَاءَ شَىءٌ إلاّ الدُّعَاءُ (رواه الترمذي)
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidz i).
yang dimaksud dengan Qadla di dalam hadits ini adalah Qadlâ Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlâ Mubrab dan Qadlâ Mu’allaq.
Pertama: Qadlâ Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahui nya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqâ wah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’âda h), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya , seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya . Allah berfirman:
يُضِلّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاء (النحل: 93)
“Allah menyesatka n terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki” . (QS. an-Nahl: 93).
Kedua: Qadlâ Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-l embaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh , seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatka n kesehatan, dan seterusnya . Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillatu rrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatka n rizki yang luas, dan tidak akan mendapatka n kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan- ketentuan Allah yang berada pada lebaran-le mbaran para Malaikat.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdîr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan- perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhn ya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembuny i dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh .
Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintah kan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَ جِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِ نُوا بِي لَعَلَّهُم ْ يَرْشُدُون َ (البقرة: 186)
“Dan jika hamba-hamb a-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhn ya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulka n doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatka n petunjuk” (QS. al-Baqarah : 186).
Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatka n salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosan ya yang diampuni, permintaan nya yang dikabulkan , atau mendapatka n kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan . Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaa n belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatka n salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas. (Lebih luas lihat al-Adzkâr an-Nawawiy yah, hlm. 353)
(Masalah): Aqidah Ahlussunna h menetapkan bahwa Allah yang menciptaka n kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburka n kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpah ami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman Allah:
بِيَدِكَ الْخَيْرُ (ءال عمران: 26)
“Dengan kekuasaan- Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).
Mereka berkata: “Dalam ayat ini Allah hanya menyebutka n kata ”al-Khayr” (kebaikan) saja, tidak menyebutka n asy-Syarr (keburukan ). Dengan demikian maka Allah hanya menciptaka n kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Ny a”.
(Jawab): Kata ”asy-Syarr ” (keburukan ) tidak disandingk an dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’ ; yaitu meninggalk an penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah:
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِي لَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ (النحل: 81)
“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pa kaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).
Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: ”Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptaka n kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptaka n segala kebaikan dan juga segala keburukan.
Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَخَلَقَ كُلّ شَىء (الفرقان: 2)
”Dan Dia Allah yang telah menciptaka n segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكِ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ (ءال عمران: 26)
“Katakanla h (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki” . (QS. Ali ‘Imran: 26).
Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki” , kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain.
Adapun firman Allah:
مَّآأَصَاب َكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَآأَصَا بَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ (النساء: 79)
ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaiman a telah ditafsirka n oleh para ulama, bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanm u”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.
Allah Pencipta Segala Sebab Dan Akibat
Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah Ahlussunna h menetapkan bahwa sebab-seba b dan akibat-aki bat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya . Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptaka n akibatnya masing-mas ing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhk an sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya . Segala akibat jika tidak dikehendak i oleh Allah akan kejadianny a maka itu semua tidak akan pernah terjadi.
Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلَقَ الدّاءَ فَإذَا أصِيْبَ دَوَاء الدّاء بَرِأ بإذْنِ اللهِ (رواه ابن حبان)
“Sesungguh nya Allah yang menciptaka n segala obat dan yang menciptaka n segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).
Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya . Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-har i, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka memperguna kan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-m acam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang memperguna kan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah : “… maka akan sembuh dengan izin Allah”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptaka n kesembuhan . Demikian pula dengan sebab-seba b lainnya, semua itu tidak menciptaka n akibatnya masing-mas ing. Kesimpulan nya, kita wajib berkeyakin an bahwa sebab tidak menciptaka n akibat, akan tetapi Allah yang menciptaka n segala sebab dan segala akibat.
Firqah-Fir qah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar
Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah , dan ketiga adalah Ahlussunna h Wal Jama’ah. Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakin an bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatann ya, mereka berkeyakin an bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab) dalam perbuatann ya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin tersebut membawanya . Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentang an dengan firman Allah:
وَمَاتَشَآ ءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِ ينَ (التكوير: 29)
“Dan kalian tidaklah berkehenda k kecuali apa yang dikehendak i oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 29).
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyî- ah) oleh Allah, hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba. Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakan bahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb), yaitu dalam firman Allah:
لَهَا مَاكَسَبَت ْ وَعَلَيْهَ ا مَااكْتَسَ بَتْ (البقرة: 286)
“Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah : 286).
Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah . Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentuka n) dalam melakukan segala amal perbuatann ya tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan- perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptaka n perbuatan- perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptaka n perbuatan- perbuatann ya tersebut. Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakin an seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirk annya, mereka bukan orang-oran g Islam. Karenanya, para ulama kita sepakat mengkafirk an kaum Qadariyyah yang berkeyakin an semacam ini. Kaum Qadariyyah yang berkeyakin an seperti itu telah menyekutuk an Allah dengan makhluk-ma khluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah, di samping itu mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptaka n segala perbuatan hamba-hamb a-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah berfirman:
قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد: 16)
“Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptaka n segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16).
Mustahil Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptaka n segala perbuatan hamba-hamb a-Nya. Sesungguhn ya Allah yang menciptaka n segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-Dzarra h, hingga benda yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh manusia yang notabene sebagai benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah sebagai Pencipta segala benda tersebut, maka demikian pula Allah sebagai Pencipta bagi segala sifat dan segala perbuatan dari benda-bend a tersebut. Sangat tidak logis jika dikatakan adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah, tapi kemudian benda itu sendiri yang menciptaka n sifat-sifa t dan segala perbuatann ya. Karena itu Imam al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul “Khalq Af’âl al-‘Ibâd”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan dan kekufuran kaum Qadariyyah , karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-ma khluk-Nya sendiri; sama-sama menciptaka n. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya, karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatann ya masing-mas ing, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubu h semua manusia tersebut. Na’ûdzu Billâh.
Golongan ke tiga, yaitu Ahlussunna h Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya . Mereka menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptaka n semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling kecil hingga benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptaka n segala sifat dan segala perbuatan dari benda-bend a tersebut.
Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian; Pertama, Af’âl Ikhtiyâriy yah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, usaha, kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’âl Idlthirâri yyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya . Dalam keyakinan Ahlussunna h; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriy yah, maupun Af’âl Idlthirâri yyah adalah ciptaan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar