Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Minggu, 17 Maret 2024

Wajibkah Imsak ??

 Fatwa Syekh Hasanain Muhammad Makhluf 

Mufti Agung Mesir

Tertanggal: Ramadhan 1368 H/Juni 1949



السؤال

 جرت عادة الناس أنه لا يكفون عن تناول الأكل والشرب وسائر المفطرات ليلا حتى أذان الفجر ومعلوم أن هناك إمساك والفرق بينه وبين الفجر عشرون دقيقة فهل يمسك الصائم حسب الإمساك أم حسب الفجر.

وهل ما كان يفعله الرسول ﷺ من قراءة خمسين آية بعد الإمساك ويؤذن بعد ذلك للفجر هل هذا من الفضائل أم دليل قاطع على عدم إباحة تعاطى مفطر فى هذه الفترة


Pertanyaan:

Tradisi masyarakat bahwa mereka tidak menghindari makan, minum, dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa di malam hari hingga adzan fajar. Dan sebagaimana diketahui bahwa di sana terdapat waktu imsak, yang perbedaannya dengan waktu fajar (subuh) 20 menit. Lantas apakah orang yang berpuasa itu menahan diri berdasar waktu imsak atau waktu fajar? 

Dan apakah yang dilakukan Rasulullah ﷺ seperti pembacaan 50 ayat setelah imsak, lalu adzan fajar dikumandangkan setelah itu, apakah aktifitas itu termasuk fadhilah (keutamaan) atau dalil pasti untuk tidak boleh melakukan hal-hal yang membatalkan puasa di waktu tersebut?


الجواب

Jawab:


 إن الأكل والشرب فى ليلة الصيام مباح إلى أن يتبين الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر وهو سواد الليل وبياض النهار كما بينه رسول الله ﷺ فى حديث عدى بن حاتم وعن عائشة رضى الله عنها


Makan dan minum di malam ramadhan itu masih diperbolehkan hingga jelas terbit fajar sebagaimana dijelaskan Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Adi bin Hatim dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha


 أن بلالا كان يؤذن بليل فقال رسول الله ﷺ كلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر


Bahwasanya Bilal itu senantiasa adzan di waktu malam. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, karena dia tidak adzan kecuali setelah fajar terbit. 


 فأفاد ذلك أن غاية إباحة الأكل والشرب هى طلوع الفجر وهو الفجر الصادق فيحل له أن يأكل ويشرب إلى قبيل طلوعه بأيسر زمن ويحرم عليه الأكل والشرب إذا طلع الفجر 


Faedah hadits ini adalah bahwa akhir diperbolehkan makan dan minum adalah terbitnya fajar shadiq. Oleh karena itu, ia diperbolehkan makan dan minum hingga menjelang terbit fajar, dan diharamkan makan dan minum ketika telah terbit fajar. 


فإن أكل وشرب على ظن عدم طلوعه ثم ظهر أنه كان قد طلع فسد صومه وعليه القضاء فقط عند الحنفية


Oleh karena itu, jika dia makan dan minum atas dasar dugaan bahwa fajar belum terbit, kemudian nyata bahwa fajar telah terbit, maka puasanya batal dan ia diwajibkan mengqadha (mengganti puasanya) saja menurut Ulama Hanafiyyah. 


 ويستحب تأخير السحور بحيث يكون بين الفراغ منه وبين الطلوع مقدار قراءة خمسين آية من القرآن كما فى حديث زيد بن ثابت رضى الله عنه قال تسحرنا مع النبى ﷺ ثم قام إلى الصلاة وكان بين الآذان والسحور قدر خمسين آية


Sementara itu, disunnahkan mengakhirkan makan sahur dimana jeda selesainya sahur dan terbitnya fajar itu kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat al-Quran sebagaimana tersebut dalan hadits riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Kami makan sahur bersama Nabi ﷺ kemudian beliau berdiri untuk shalat, saat itu antara adzan dan sahur sekira 50 ayat. 


 قال الحافظ ابن حجر فى الفتح (وهذا متفق عليه فينبغى العمل به وعدم العدول عنه لكونه أفضل وأحوط)، وقال صاحب البدائع إنه يستحب تأخير السحور وأن محل استحبابه إذا لم يشك فى بقاء الليل فإن شك فى بقائه كره الأكل فى الصحيح.


Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fathul Bari berkata:

Hadits ini disepakati Bukhari-Muslim, oleh karenanya seyogyanya diamalkan dan tidak ditinggalkan karena hal itu lebih utama dan lebih hati-hati.¹


Sedangkan Penulis kitab Badâ-i'ush shanâ-i' berkata: disunnahkan mengakhirkan makan sahur. Dan posisi kesunnahan itu ketika tidak ragu-ragu masih berlangsungnya waktu malam, sehingga jika ia ragu-ragu masih berlangsungnya waktu malam, maka hukumnya makruh makan dalam pendapat yang shahih. 


ومن هذا يعلم أن الإمساك لا يجب إلا قبل الطلوع وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريبا ومن هذا يعلم الجواب عن السؤال حيث كان الحال كما ذكر به والله أعلم


Dari sinilah diketahui bahwa imsak itu tidak wajib kecuali sebelum (la'alash shawab: setelah) terbitnya fajar dan bahwasanya disunnahkan antara (selesainya makan sahur) dan terbit fajar itu kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat yang lamanya kira-kira 10 menit. 

Dari sini, diketahui jawaban atas pertanyaan diatas dimana keadaannya sebagaimana tersebut. 


Wallahu a'lam


NB:

¹ Redaksi di atas tidak saya temukan dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, tetapi tersebut dalam al-Fath al-Rabbani karya Syekh Ahmad bin Abdirrahman al-Sâ'ati


Sumber Fb Yai Nurhashim

Share:

Sabtu, 02 Maret 2024

Resep Hafal Quran

Shalat Agar Mudah Hafal Quran


Dalam kitabnya Nazharat fil Quran, Syekh Muhammad al-Ghazali bercerita pengalamannya menghafal al-Quran. Ia sudah hafal Quran sejak usia 10 tahun. Tentu saja sekedar hafal. Belum paham maknanya. Seorang anak mudah merekam sesuatu, membayangkan posisi surat dan ayat yang ada dalam al-Quran.


Tapi beberapa tahun setelah itu ia lupa semua yang dihafalnya. Seolah-olah usaha ayahnya untuk memasukkannya ke kuttab sia-sia belaka. Ini bukan hanya karena kelalaiannya saja tapi juga beban dan materi pelajaran di Ma’had tempat ia belajar yang membuatnya tidak bisa mempertahankan hafalannya.


Namun ia tak menyerah begitu saja. Ia berjuang keras untuk kembali mengulang apa yang sudah ia hafal sebelumnya. Lebih dari lima tahun ia berusaha tanpa kenal lelah. Untuk satu rubu’ saja ia mesti ulang sepuluh kali. Namun, tetap saja tidak mudah mengembalikan lagi hafalan yang sudah hilang itu.


Sampai akhirnya ia mendapatkan resep mujarrab tentang bagaimana agar hafalannya kuat. Resep itu ia dapatkan saat membaca kitab-kitab hadits. Resep itu terdapat dalam hadits riwayat Tirmidzi, al-Hakim, dan ad-Daruquthni. Hadits itu menjelaskan apa yang disebut dengan shalat untuk menghafal Quran.


Setelah mengamalkan isi hadits itu, Syekh Muhammad Ghazali sangat merasakan manfaatnya. Ia juga berharap banyak orang yang mendapatkan manfaat dari mengamalkan hadits tersebut.


*** 


Shalat untuk menghafal Quran sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi itu merupakan ajaran Nabi Saw kepada Imam Ali ra saat ia mengeluhkan kelemahan hafalannya. Nabi Saw menganjurkan Imam Ali untuk bangun di sepertiga malam terakhir di malam Jumat karena itu merupakan waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Kalau tidak bisa di sepertiga terakhir maka di pertengahannya. Kalau tidak bisa juga maka di awalnya.


Shalatnya empat rakaat. Di rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan Surat Yasin. Di rakaat kedua dibaca al-Fatihah dan Hamim ad-Dukhan. Di rakaat ketiga dibaca al-Fatihah dan as-Sajdah. Di rakaat keempat dibaca al-Fatihah dan Tabaraka (al-Mulk).


Setelah salam perbanyak puji-pujian kepada Allah Swt dan shalawat kepada Nabi Saw serta memintakan ampunan untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat. Setelah itu baca doa berikut:


اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي بِتَرْكِ المَعَاصِي أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِي، وَارْحَمْنِي أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لَا يَعْنِينِي، وَارْزُقْنِي حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّي، اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ وَالعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ، أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُلْزِمَ قَلْبِي حِفْظَ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِي، وَارْزُقْنِي أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي يُرْضِيكَ عَنِّيَ، اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ وَالعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ، أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِي، وَأَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِي، وَأَنْ تُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِي، وَأَنْ تَشْرَحَ بِهِ صَدْرِي، وَأَنْ تُعْمِلَ بِهِ بَدَنِي، فَإِنَّهُ لَا يُعِينُنِي عَلَى الحَقِّ غَيْرُكَ وَلَا يُؤْتِيهِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ العَلِيِّ العَظِيمِ

 

Lakukan hal itu selama tiga, lima atau tujuh kali Jumat. Insya Allah doa akan terkabul. Bahkan di akhir hadits Nabi Saw menegaskan:


وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ مَا أَخْطَأَ مُؤْمِنًا قَطُّ


“Demi Zat yang mengutusku dengan sebenarnya, ini tak pernah meleset dari seorang mukmin pun.”


Dan memang, lima atau tujuh hari setelah itu, Ali kembali datang kepada Nabi Saw dan berkata:


يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ فِيمَا خَلَا لَا آخُذُ إِلَّا أَرْبَعَ آيَاتٍ أَوْ نَحْوَهُنَّ، وَإِذَا قَرَأْتُهُنَّ عَلَى نَفْسِي تَفَلَّتْنَ وَأَنَا أَتَعَلَّمُ اليَوْمَ أَرْبَعِينَ آيَةً أَوْ نَحْوَهَا، وَإِذَا قَرَأْتُهَا عَلَى نَفْسِي فَكَأَنَّمَا كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ عَيْنَيَّ، وَلَقَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ الحَدِيثَ فَإِذَا رَدَّدْتُهُ تَفَلَّتَ وَأَنَا اليَوْمَ أَسْمَعُ الأَحَادِيثَ فَإِذَا تَحَدَّثْتُ بِهَا لَمْ أَخْرِمْ مِنْهَا حَرْفًا


“Ya Rasulullah, sungguh sebelum ini aku hanya bisa menghafal lebih kurang empat ayat saja. Itu pun mudah lepas. Tapi sekarang aku bisa menghafal lebih kurang empat puluh ayat. Kalau aku baca seolah-olah al-Quran itu ada di depan mataku. Sebelumnya, kalau aku mendengar hadits dan aku ulang ia mudah lepas. Tapi sekarang kalau aku dengar hadits dan aku sampaikan tidak satu huruf pun yang tinggal.”


*** 


Amalan ini ternyata juga biasa dilakukan di beberapa pesantren dan madrasah di Indonesia. Bahkan ada karya tulis ilmiah (skripsi dan tesis) yang melakukan penelitian tentang hal ini.


Karena Syekh Muhammad Ghazali telah merasakan sendiri manfaatnya, saya pun terdorong untuk mengamalkannya karena saya juga mengalami masalah pada hafalan. Tapi sebelum mengamalkannya, saya ingin mencek dulu kekuatan haditsnya.


Ternyata penilaian para ulama hadits mengenai hadits ini sangat beragam.


Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib :


هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ الوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ


Imam al-Hakim yang juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak mengatakan bahwa hadits ini shahih:


صَحِيح عَلَى شَرط الشَّيْخَيْنِ


Sudah dimaklumi bahwa Imam al-Hakim termasuk mutasahil (longgar) dalam menshahihkan hadits. Penilaian Imam al-Hakim ini dibantah oleh Imam adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak. Ia mengatakan bahwa hadits ini munkar dan syadz. Tapi ia mengaku ‘bingung’ melihat keindahan sanad hadits ini. Artinya, secara zhahir sanad hadits ini sangat bagus. Tapi ia tidak ‘nyaman’ dengan matannya. 


هذا حديث منكر شاذ أخاف لا يكون مصنوعا وقد حيرني والله جودة سنده


Hal senada ia ungkapkan juga dalam Mizan al-I’tidal:


وهو مع نظافة سنده حديث منكر جدًا في نفسى منه شيء، فالله أعلم


Kemungkinan yang membuat Imam Dzahabi menilai matan hadits ini munkar adalah karena mirip dengan penyampaian para al-Qusshash (para penceramah yang biasa memotivasi masyarakat dengan hal-hal yang tidak punya dasar), seperti disampaikan Imam Ibnu Rajab dalam Syarah ‘Ilal Tirmidzi:


إنه يشبه أحاديث القصاص


Sementara itu Imam Ibnu al-Jauzi dengan ‘berani’ menghukumi hadits ini sebagai maudhu’. Ia beralasan:


الْوَلِيد يُدَلس التَّسْوِيَة وَلَا أتهم بِهِ إِلَّا النقاش شيخ الدارَقُطْنيّ فَإنَّهُ مُنكر الْحَدِيث


“Walid men-tadlis taswiyah. Saya tidak menuduh (memalsukan hadits ini) kecuali an-Naqqasy guru dari Daruquthni karena sesungguhnya ia seorang munkar hadits.”


Sudah masyhur juga bahwa Ibnu al-Jauzi termasuk mutasahil dalam memberikan cap palsu pada hadits.


Karena itu tuduhan Ibnu al-Jauzi ini dibantah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar:


هَذَا الْكَلَام كُله تهافت والنقاش بَرِيء من عهدته فَإِن الحَدِيث أخرجه التِّرْمِذِيّ وَحسنه وَالْحَاكِم وَصَححهُ وَالْبَيْهَقِيّ من طَرِيق لَيْسَ فِيهَا النقاش وَلَا أَبُو صَالح وَلَا مُحَمَّد بن إِبْرَاهِيم


“Perkataan ini semuanya ‘ngawur’. An-Naqqasy tidak bersalah dalam hal ini karena hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankannya, diriwayatkan oleh al-Hakim dan dishahihkannya, dan diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari jalur yang tidak ada di sana an-Naqqasy, Abu Shalih atau Muhammad bin Ibrahim.”


Pendapat ulama hadits kontemporer tentang hadits ini juga beragam. Syekh Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’. Sementara itu Syekh Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiqnya mengatakan bahwa hadits dari jalur Tirmidzi itu sanadnya jayyid. 


Ini baru sekelumit kajian dari segi haditsnya, belum kajian dari segi istinbathnya. Tapi setidaknya ini bisa menjadi bahan awal bagi yang ingin mengkaji lebih jauh. Juga bagi yang sudah atau akan melakukan shalat dan doa untuk menghafal al-Quran tapi belum tahu dasarnya.


والله تعالى أعلم وأحكم



Share:

Jumat, 01 Maret 2024

Tidak Tahu Bagian dari Ilmu

Pentingnya ucapan saya tidak tahu (لا أدري)


Nasihat Imam Malik Rahimahulloh: "Semestinya bagi seorang alim mewariskan kepada jemaahnya ucapan saya tidak tahu (لا أدري).

Berikut beberapa panutan yang pernah mengamalkan لا أدري :


1. Rasulullah Saw ketika ditanya tempat apa yang paling afdhol beliau menjawab saya tahu saya tanyakan dulu malaikat Jibril


2. Malaikat Jibril ketika ditanya Rasulullah tempat apa paling afdhol maka Jibril menjawab saya tidak tahu saya tanya dulu Robbku, Allah SWT.


3. Imam abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) menjawab dalam delapan masalah dengan saya tidak tahu


4. Imam Malik (pendiri Mazhab Maliki) ditanya 48 pertanyaan, Imam Malik hanya menjawab 16 pertanyaan saja, sisanya 32 pertanyaan lagi Imam Malik hanya menjawab saya tidak tahu


5. Imam Syafi'i ketika ditanya tentang masalah mut'ah saya tidak tahu 


6. Imam Ahmad bin Hambal (pendiri Mazhab Hambali) sangat banyak sekali beliau mengeluarkan jawaban saya tidak tahu.  Al-Allamah al-Muhaddist Hasan al-Masysath, Rof'ul Astar 165.

Share:

Kategori Artikel