Media Sebagai Bagian Dari Dakwah untuk menyampaikan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin dengan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893)

Selasa, 14 Juni 2022

Biografi Syeh Abdus Shamad Al Falimbani

 

Nama lengkap beliau adalah Syekh Abdus Somad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palembani. Lahir dan dibesarkan di Palembang pada tahun 1150 H atau 1736 M dalam lingkungan “Keraton Kuto Cerancangan” (antara 17 dan 20 ilir sekarang). Karena ayahnya adalah menjabat sebagai Kepala Penjaga Istana Kuto Cerancangan Kesultanan Palembang Darussalam pada masa Sultan Agung dan Sultan Mahmud Badaruddin I. Ibunya meninggal dunia tatkala usianya baru satu tahun. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, Abdus Somad juga mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama besar Palembang pada waktu itu, seperti: Tuan Faqih Jalaluddin (w.1748), Hasanuddin bin Jakfar dan Sayid Hasan bin Umar Idrus. Abdus Somad seorang anak yang cerdas dan memiliki ingatan yang kuat. Kepada gurunya yang disebut terakhir ini, beliau belajar mengaji Al-Qur’an serta tajwidnya dan ilmu-ilmu agama lainnya sehingga ia hafal kitab suci Al-Qur’an dalam usia 10 tahun. Diusia ini pula ia mendapatkan malam Lailatul Qadar yang di dalamnya banyak terdapat keajaiban-keajaiban yang tak bisa dihinggakan.

Kemudian beliau meneruskan studynya ke tanah suci Mekkah dan Madinah bersama sahabat-sahabatnya dari Palembang, yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin. Di tanah suci beliau belajar dengan sungguh-sungguh selama 20 tahun kepada ulama-ulama terkenal. Bidang yang paling digemarinya adalah Tauhid dan Tasawuf yang ia belajar langsung kepada Syekh Muhammad Samman. Kepada gurunya inilah ia mengambil Tarekat Sammaniyah yang zikirnya dikenal dengan Ratib Samman. Melalui Syekh Abdus Somad inilah Ratib Samman masuk dan berkembang di Palembang hingga sekarang. Selain Tarekat Sammaniyah, sebelumnya ia juga mengambil Tarekat Syattariyah melalui Syekh Ibrahim Al-Kurani di Madinah.

II. Guru-gurunya
1. Tuan Faqih Jalaluddin (w.1748) - Ushuluddin
2. Sayid Hasan bin Umar Idrus - Al-Qur’an
3. Syekh Said bin Muhammad
4. Syekh Abdul Ghani bin Muhammad Al-Hilal
5. Syekh Ibrahim bin Muhammad Zamzami Ar-Rais (w.1780) - Falaq
6. Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi (w.1779) – Fiqih
7. Syekh Sulaiman Ujaili (w.1789) – Tafsir
8. Syekh Atho’illah bin Ahmad (w.1747) – Hadist
9. Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im Ad-Damanhuri (w.1778) – Mantiq
10. Syekh Ahmad Abu As-Sa’adah – Ratib Ahmad Al-Qusyasyi
11. Syekh Muhammal Khalil bin Ali Al-Husaini (w.1791) – Tarikh
12. Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari Al-Misri (w.1772) –Hadist
13. Syekh Muhammad Mirdad
14. Syekh Hasanuddin bin Jakfar Al-Palembani
15. Syekh Murtadha Al-Zabidi
16. Syekh Abdurrahman bin Mustafa Al-Idrus
17. Syekh Thayib bin Jakfar Al-Palembani
18. Syekh Sayid Ahmad bin Muhammad Syarif Makbul Al-Ahdal
19. Syekh Ibrahim Al-Kurani Al-Madani - Tarekat Syattariyah
20. Syekh Muhammad Samman (w.1776) – Tarekat Sammaniyah


III. Kitab Karangannya
Semasa hidupnya Syekh Abdus Somad tidak hanya aktif dalam berdakwah ke berbagai daerah di Timur Tengah, tetapi juga menjadi seorang penulis yang produktif. Kitabnya ini sampai sekarang masih dibaca dan dipelajari di Palembang, terutama Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin. Adapun diantara karangannya tersebut adalah:
1. Zuhratul Murid (Mantiq, 1764)
2. Tuhfat Al-Raghibin (1774)
3. Urwat Al-Wusqa (Tarekat Sammaniyah)
4. Ratib Abdus Somad
5. Zad Al-Muttaqin (Tauhid)
6. Siwatha Al-Anwar
7. Fadhail Al-Ihya li Al-Ghazali (Tasawuf)
8. Risalah Aurad dan Zikir
9. Irsyadan Afdhal Al-Jihad
10. Nasihat Al-Muslimin wa Tazkirat Al-Mukminin fi Fadhail Al-Jihad fi Sabilillah (Perang Sabil)
11. Hidayat Al-Salikin (Tasawuf, 1778)
12. Sair As-Salikin (Tasawuf, 1779-1788). dll.
Karyanya yang bernama Nasihat Al-Muslimin (no. 10) di atas adalah sebuah kitab menguraikan tentang Perang Jihad, oleh karena itu karyanya ini sangat berpengaruh di berbagai penjuru Nusantara khusunya Palembang, yang menjadi penggerak dan pendorong bagi rakyat Palembang untuk berjihad melawan Belanda pada tahun 1819, yang dipimpin oleh menantunya sendiri, Kgs.H.M.Zen sebagai Panglima Pasukan Jihad.

IV. Murid-muridnya
1. Kgs.H. Muhammad Zen
2. Kgs.H. Muhammad Akib bin Hasanuddin
3. Kgs.H. Muhammad Saleh bin Hasanuddin
4. Kgs.H. Makruf bin Hasanuddin
5. Mgs.H. Mahmud bin Kanan
6. Syekh Dhiauddin Al-Palembani
7. Syekh Abdul Jalil Al-Jawi
8. Abdul Manan Termas
9. Syekh Amrullah bin Abdul Khaliq Mizjaji
10. Syekh Yusuf bin Muhammad Alauddin Mizjaji
11. Syekh Umar bin Ismail Asy-Syari’
12. Syekh Muhammad bin Abdullah bin Sayid Ahmad Ar-Rifari
13. Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Makbul
14. Faqih Abdullah bin Ahmad Al-Khairi
15. Ali bin Abdul Bar Al-Wina’i
16. Syekh Muhammad Abdul Khaliq bin Ali Mizjaji
17. Jamaluddin bin Abdul Karim Al-Fathani
18. Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani
19. Usman Ad-Dimyati
20. Wajihuddin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yahya bin Umar Al-Ahdal, dll.

V. Keturunannya
Syekh Abdus Somad Al-Palembani bermukim di Tanah Arab seumur hidup. Di sana beliau menikah dengan seorang wanita berasal dari Yaman Selatan bernama Aisyah binti Idrus Aden. Oleh sebab itu ia sering mengadakan perjalanan ke Aden, Zabid, Ruaya, dan lain tempat, guna menjalin tali silaturrahmi dengan keluarga mertuanya serta sekaligus berdakwah. Dari perkawinan ini, ia dikaruniai 2 orang putri yang diberi nama Fatimah dan Rukiah. Rukiah kemudian menikah pula dengan pemuda asal Palembang bernama Kgs.H. Muhammad Zen bin Kgs. Syamsuddin, seorang cucu ulama Besar Faqih Jalaluddin, juga sekaligus murid dan khalifah Syekh Abdus Somad dalam menyebarkan ajarannya, terutama Ratib Samman. Selanjutnya puterinya ini melahirkan 4 orang anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki, masing-masing bernama: Nyayu Zubaidah, Nyayu Aisyah, Nyayu Hausah dan Kgs. Abdul Karim. Dari cucu-cucunya ini maka berkembanglah keturunannya sampai sekarang yang sebagian besar diantara mereka menjabat sebagai Kepenghuluan Palembang seperti: Khatib Penghulu, Khatib Imam, Khatib, guru agama dan pejabat lainnya yang berdomisili di suatu pemukiman khusus yang dikenal dengan “Guguk Pengulon” belakang Masjid Agung (Kampung 19 ilir).
Sedangkan nama Syekh Abdus Somad kini diabadikan oleh pemerintah menjadi salah satu nama sebuah jalan yang terletak di kelurahan 22 – 23 ilir Palembang.


VI. Keramatnya
Cerita-cerita tentang kekeramatan Syekh Abdus Somad Al-Palembani telah dihimpun oleh salah seorang muridnya dalam kitab “Faidhal Ihsani”. Dalam kitab inilah kita dapat mengetahui sebenarnya tentang riwayat hidup, asal-usul, pendidikan, keturunan, keramatnya dan lain-lain. Sumber inilah yang kami ambil dalam menyusun tulisan ini yang berasal dari literatur lokal (Palembang), tidak seperti pendapat-pendapat sekarang yang mengambil dari sumber lain (Malaysia, Thailan, dll) yang ceritanya berlainan dengan fakta dan kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan, dan ini sangat disesalkan sekali. Karena di negeri kelahirannya, Palembang, masih ada keturunannya dan peninggalan-peninggalannya.

(Narasumber : Kms. H. Andi Syarifuddin, S.Ag)

Share:

TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH


Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Atjeh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Atjeh.
Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Atjeh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Atjeh tersebut akan punah ditelan masa.
Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.
Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.
Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Atjeh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.
Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.
Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.
Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.
Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Atjeh Besar.
Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.
Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Atjeh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).
Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.
Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.
Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.
Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.
Share:

Kategori Artikel